(Oleh: Mutasya Lifa Nabila,Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)
Program makan gratis yang diinisiasi oleh calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada warga yang mendukung, tetapi ada juga yang mengkritiknya. Salah satu warga yang mendukung adalah Ade (45), seorang ayah dari anak perempuan berusia 10 tahun.
Menurut dia, program ini paling nyata manfaatnya bagi masyarakat karena dapat memenuhi kebutuhan utama yaitu pangan. Ade menuturkan, di antara program ketiga paslon capres dan cawapres pada Pemilu 2024, makan gratis adalah program yang akan memberi dampak dan kemudahan bagi masyarakat kalangan bawah.
Ade berharap program ini bisa membantu prevalensi stunting di Indonesia yang mengutip dari situs Kementerian Kesehatan tercatat mencapai 21,6 persen pada tahun 2023.
Pendapat ini berbeda dengan salah seorang warga lainnya, Cucu (36). Dia menyarankan alokasi dana program makan gratis sebaiknya untuk uang masuk sekolah atau kuliah saja.
Cucu bercerita tentang dirinya yang sudah mulai mempersiapkan dana masuk SMA bagi anaknya yang masih duduk di kelas 2 SMP. Oleh sebab itu, Cucu menuturkan, bebannya adalah perihal jumlah uang yang besar untuk sekolah anak.
Walaupun program makan siang gratis dijanjikan oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang baru akan diresmikan memimpin Indonesia di bulan Oktober ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memasukkan program ini kedalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025. Program yang banyak menuai kritik ini akan menyasar hampir 83 juta anak sekolah, balita serta ibu mengandung dan memakan paling tidak Rp100 trilliun pada tahun pertamanya. Program yang bertujuan memberikan makan siang bergizi serta susu gratis kepada anak sekolah dan gizi tambahan bagi ibu hamil dan balita ini bahkan akan dapat mencapai Rp460 triliun setahunnya ketika program ini sudah dilaksanakan secara penuh tahun 2029.
Pasangan Prabowo dan Gibran mengusulkan alokasi biaya sebesar Rp15.000 untuk setiap anak sekolah, belum termasuk pengeluaran untuk susu. Pasangan ini juga mengusulkan kemitraan dengan swasta untuk meringankan beban anggaran negara namun belum jelas dengan pihak mana secara spesifik maupun apa saja amendemen peraturan yang diperlukan untuk kolaborasi seperti itu. Bank Dunia menyuarakan kekhawatirannya mengenai program ini dengan mengatakan bahwa kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara 2025 harus menjadi pertimbangan serius dan diperlukan persiapan yang matang untuk memastikan bahwa program ini tidak menjadi beban berat bagi kinerja fiskal Indonesia.
Indonesia, tambahnya, juga harus menaati batasan teratas bagi defisit fiskal yang sebesar tiga persen dari Produk Domestik Bruto seperti yang ditetapkan undang-undang. Menjaga stabilitas makroekonomi dan fiskal, katanya, sangat penting. Lembaga Fitch Rating mengatakan program makan siang gratis ini akan dapat menghabiskan biaya sekitar dua persen dari Produk Domestik Bruto setiap tahunnya. Sementara lembaga rating lainya, Moody’s Investors Service menyuarakan kecemasannya bahwa penerapan program ini akan menandai perbedaan dari rekam jejak panjang Indonesia dalam hal keuangan anggaran dan rasio utang yang dikelola secara konservatif.
Sumber pendanaan program ini juga telah menimbulkan polemik hangat di dalam negeri dengan barisan pengajar menolak penggunaan dana dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk itu. Terlepas dari apakah program ini akhirnya akan dilaksanakan atau tidak, ada baiknya dipikirkan apa sisi baik dan buruk dari pemberian makan siang gratis ini.
Menurut analisa penulis, Program makan siang gratis yang diusulkan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bertujuan untuk membantu anak-anak dan ibu hamil agar mendapatkan gizi yang lebih baik. Dengan target hampir 83 juta orang, program ini bisa memberikan dampak besar. Namun, biaya yang dibutuhkan sangat tinggi, yaitu Rp100 triliun di tahun pertama dan bisa mencapai Rp460 triliun di tahun 2029.
Ada banyak kekhawatiran tentang dari mana uang untuk program ini akan datang. Bank Dunia dan lembaga pemeringkat internasional seperti, Fitch dan Moody’s khawatir bahwa program ini bisa membebani anggaran negara. Jika tidak direncanakan dengan baik, bisa sulit untuk menjaga defisit anggaran di bawah batas yang ditetapkan, yaitu tiga persen dari PDB.
Menurut hemat penulis, menyarankan kepada pemerintah terkait MGB untuk menyusun rencana pendanaan yang jelas dan berkelanjutan untuk program MGB ini, termasuk untuk mencari sumber dana yang tidak hanya bergantung pada anggaran negara. Sebelum membuat suatu kelayakan harusnya dilakukan terlebih dahulu seperti mengevaluasi dampak ekonomi dan sosial dari program ini.
Harusnya pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tersebut dengan mendengarkan masukan dari masyarakat, terutama yang menjadi target program pemerintah dapat menyesuaikannya agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Pemerintah perlu merencanakan program ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak dan ibu hamil di Indonesia. Ini mencakup integrasi dengan program-program lain yang mendukung pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra terkait prinsip good governance, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penggunaan anggaran negara. Beberapa pihak mempertanyakan sumber pendanaan program ini, mengingat besarnya anggaran yang diperlukan dapat berpotensi membebani APBN dan meningkatkan risiko utang negara.
Selain itu, tantangan dalam distribusi yang merata, pengawasan ketat untuk mencegah kebocoran anggaran, serta efektivitas dalam pencapaian target gizi masyarakat menjadi isu yang harus diperhatikan dalam implementasi program ini. Tanpa mekanisme pengelolaan yang baik, MGB bisa menjadi kebijakan populis yang tidak berkelanjutan dan justru menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas ekonomi negara.