loader image

Dinamika Politik Hukum Dibalik Pasal 2 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dinamika Politik Hukum Dibalik Pasal 2 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Nadya Oktaria Putri, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)

            Korupsi seakan sudah menjadi benalu tetap dalam tata pemerintahan yang penuh dengan kerahasiaannya.Pejabat publik dalam tata pemerintahan dan  kenegaraan tak luput dari tindakan yang menjijikan ini.Bahkan, Oknum yang dipercaya membasmi parasit ini juga ikut terjun didalamnya.Buktinya, baru –baru ini terdengar kabar bahwa ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri juga menjadi bagian dari tindakan berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.Sehingga, Hal ini membuktikan bahwa siapa saja bisa melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.

            Untuk membasmi lingkaran setan ini.Salah satu langkah nyata adalah dibentuknya undang – undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai perubahan kedua atas Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999.Dalam Pasal 2 ayat (2) Uu ini menjelaskan secara gamblang “ Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”.Pasal ini menyatakan bahwa pidana mati bisa dijatuhkan sebagai hukuman bagi para koruptor.

            Pidana mati adalah usaha terakhir yang bisa dilakukan oleh negara dalam membasmi para koruptor yang sudah menjamur di Indonesia.Namun, Sepanjang sejarah semenjak Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diadakan  tahun 1999, Seberat – berat hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman seumur hidup bukan hukuman mati.Sehingga timbul pertanyaan. apa urgensi dari Pasal 2 ayat (2) Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini?, Apa hal yang menyebabkan hukuman mati tidak pernah dijatuhkan sebagai hukuman bagi para koruptor. Dan Apakah ada kepentingan politik tersembunyi di balik ketentuan pasal tersebut untuk Para pejabat dalam pemerintahan?

             Jika ditanyakan apa urgensi dibentuknya Pasal 2 Ayat (2) Uu Tipikor tentu kita sudah menebak bahwa tujuannya tak lain adalah membasmi kejahatan tindak pidana korupsi agar negara bersih dari kejahatan yang tergolong White Collar Crime ini.Namun, apakah tujuan ini relevan dengan implementasi undang – undang Tipikor dilapangan?. Maka, Jawabannya adalah tidak.

            Jika kita menilik lebih dalam tentang isi Pasal 2 Ayat (2) Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut maka akan ditemukan frasa“ keadaan tertentu”.Sebagaimana dikutip dalam jurnal hukum yang ditulis oleh Edi Yuherman dengan judul “ Pidana Mati dalam Undang – undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Teori Zawajir dan Jawabir)”.Keadaan tertentu yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut adalah perbuatan korupsi  dilakukan oleh pejabat negara ketika negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang – undang berlaku, Sedang terjadi bencana nasional, Atau pada waktu negara dalam keadaan kritis ekonomi dan moneter.

            Kemudian, Jika dibandingkan dengan pendapat lain dalam Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No 3, Tahun 2013 oleh Elsa Touli dengan judul tulisan “ Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang – undang Tindak Pidana Korupsi”  menjelaskan terdapat tiga kriteria utama yang membuat seorang koruptor dapat dihukum mati yaitu Petama, Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar, Kedua,Perbuatan tersebut secara massif telah merugikan rakyat, Ketiga, Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara dan pelaku sudah berulang – ulang melakukan tindakan korupsi.

             Masih ingatkah perihal kasus korupsi yang menjerat Dodi Martimbang, tersangka korupsi PT. Antam yang terungkap diawal tahun 2023. Dodi Martimbang terbukti merugikan negara sebesar Rp. 107 Miliar. Namun, Vonis yang dijatuhkan kepada Dodi hanya hukuman penjara selama 6,5 Tahun lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu 7,5 tahun penjara.Hal ini adalah salah satu bukti ketidakpastian parameter hukum dalam penjatuhan hukuman mati yang tertera dalam Pasal 2 ayat (2) Uu Tipikor.

            Selain dari substansi pasal tersebut yang tidak jelas, Praktek peradilan pidana juga salah satu penyebab hukuman mati bagi para koruptor tidak pernah terjadi.Tindak pidana korupsi dalam hukum pidana termasuk dalam kategori Extra Ordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang harus ditanggulangi dengan cara – cara yang ekstra pula.

            Dalam peradilan pidana, Enggan diterapkannya Asas pembuktian terbalik.Asas pembuktian terbalik secara ringkasnya adalah memberikan kesempatan kepada beban pembuktian baik itu pengadilan ataupun terdakwa untuk melakukan pembuktian sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yaitu (1) harus ada sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah, dan (2) dua alat bukti itu memberi keyakinan kepada hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukannya.Asas pembuktian terbalik diatur dalam pasal 12B, 37 dan 37A, 38B Undang –undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hal ini dilatarbelakangi oleh perbuatan tindak pidana korupsi merupakan perbuatan pidana yang sulit untuk dibuktikan sehingga banyak pelaku yang terindikasi korupsi bebas begitu saja.

            Sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan substansi hukum yang tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Uu Tipikor dan praktek peradilan pidana yang enggan menerapkan asas pembuktian terbalik menjadi faktor utama penyebab  banyaknya pelaku korupsi yang terindikasi bebas begitu saja dan penjatuhan hukuman mati hanyalah angan-angan belaka.Lantas mengapa pemerintah sampai sekarang tidak terbesit untuk mengakomodir permasalahan ini, apa benar ada indikasi kepentingan politik tersembunyi?

            Dugaan ini mencuat bukan tanpa alasan, Jika kita perhatikan kasus korupsi dalam tata pemerintahan sangatlah banyak. Data terakhir per 2023  terdapat 1.352 kasus korupsi, .Sebanyak 430 kasus dipegang oleh pemerintah pusat sebagai ranah rawan korupsi..Banyak kasus korupsi yang terungkap dan pelakunya adalah pejabat negara yang seharusnya sebagai agen utama melindungi negara dari tindakan yang merugikan.Dengan keadaan de facto ini, Seharusnya Pemerintah lebih cepat tanggap dan merancang solusi untuk permasalahan ini.Diamnya Pemerintah menguatkan dugaan bahwa ada politik kepentingan untuk saling melindungi.

            Oleh karena itu, Untuk mematahkan asumsi tersebut Pemerintah seharusnya segera memberikan gebrakan baru sebagai tindaklanjut dari 2 masalah utama yang dikemukakan Penulis diatas. Perbaikan substansi hukum yang tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Uu Tipikor harus segera dilakukan, penjabaran parameter yang jelas adalah salah kuncinya.Kemudian, Asas pembuktian terbalik dalam ranah peradilan pidana dalam menangani tindak pidana korupsi harus diterapkan agar tidak ada lagi Para Koruptor yang lepas setelah meraut kekayaan negara.       

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *