Infrastruktrur vs Alam: Mampukah Semarang Mengatasi Banjir?

(Oleh: Mutiara Firdaus mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta)

Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Salah satu kota yang menghadapi permasalahan banjir kronis. Namun, banjir di Semarang tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti pasang air laut (rob), penurunan tanah (land subsidence), dan berbagai macam pembangunan infrastruktur yang mengorbankan ruang lahan hijau. Pemerintah terus berupaya mengatasi banjir dengan berbagai proyek infrastruktur, seperti normalisasi sungai, pembangunan polder, dan juga peningkatan sistem drainase.

Banjir di semarang terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, yaitu yang bersifat alami maupun yang diakibatkan oleh manusia. Faktor alami seperti curah hujan yang tinggi dan letak geografis kota yang merupakan daerah pesisir. Namun, faktor antropogenik seperti urbanisasi, eksploitasi air tanah berlebihan, dan hilangnya daerah resapan juga memperburuk kondisi.

Faktor-faktor dan permasalahan tersebut diantaranya sebagai berikut, pertama: Penurunan Tanah dan Rob. Salah satu permasalahan utama yang memperparah banjir di Semarang adalah fenomena penurunan tanah. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan tanah di Semarang mencapai 10 cm per tahun di beberapa titik, teutama di daerah pesisir seperti Tanjung Mas dan Genuk. Hal ini diperparah dengan adanya fenomena rob, yaitu naiknya permukaan air laut yang menggenangi kawasan pesisir.

Penurunan tanah ini disebabkan oleh eksploitasi air tanah secara masif untuk memenuhi kebutuhan industri dsn rumah tangga. Sayangnya, solusi untuk mengurangi penggunaan air tanah, seperti penyediaan sistem air bersih berbasis air permukaan, belum sepenuhnya optimal.

Kedua, Alih Fungsi Lahan dan Berkurangnya Ruang Hijau. Bahwa banyak lahan hijau dan daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, industri, dan infrastruktur lainnya seiring dengan pertumbuhan kota. Kawasan yang dulunya merupakan rawa atau sawah kini berubah menjadi perumaham dan pusat bisnis. Padahal, lahan basah berfungsi untuk menyerap air hujan dan mengurangi resiko banjir.

Contoh nyata adalah daerah Semarang atas yang dulunya kaya akan hutan dan daerah resapan, kini berubah menjadi perumahan dan pusat komersial. Akibatnya, air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah langsung mengalir ke daerah yang lebih rendah, sehingga menyebabkan banjir di daerah Semarang bawah.

Peran Infrastruktur dalam Mitigasi Banjir

Pemerintah Kota Semarang telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi banjir melalui pembangunan infrastruktur. Beberapa proyek besar yang telah dan sedang dilakukan yaitu: Pertama, Polder dan Pompa Air. Sistem polder telah diterapkan di beberapa daerah, khususnya di wilayah pesisir untuk mengensalikan banjir. Contohnya adalah Polder Sungai Sringin yang terdapat di Semarang Timur. Sistem ini bekerja dengan cara mengalirkan air ke kolam retensi, lalu memompanya ke laut atau sungai. Namun, jika kapasitas pompa tidak mencukupi saat curah hujan ekstrem, genangan tetap bisa terjadi.

Kedua, Normalisasi Sungai. Normalisasi sungai dilakukan untuk memperlancar aliran air dan mencegah luapan ke pemukiman. Salah satu contohnya adalah normalisasi Sungai Banjir Kanal Barat dan Timur. Namun, proyek ini sering kali mendapat kritik karena pendekatannya yang cenderung mengutamakan pengerukan dan betonisasi dibandingkan solusi berbasis alam seperti restorasi ekosistem sungai.

Peran paling signifikat juga yaitu Pembangunan Tanggul Laut. Untuk mengatasi rob di wilayah pesisir, pemerintah membangun tanggul laut di Tambaklorok, Semarang. Namun, pembangunan tanggul laut ini juga memicu perdebatan, karena meskipun dapat menghalangi masuknya air laut, dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem pesisir masih menjadi tanda tanya.

Dapatkah infrastruktur Mengalahkan Alam?

Pembangunan Infrastruktur memanglah penting dalam mengatasi banjir, tetapi tanpa adanya keseimbangan dengan alam, upaya ini hanya akan menjadi solusi sementara. Infrastruktur yang dibangun dengan pendekatan teknis semata tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan justru dapat memperburuk keadaan dalam jangka panjang.

Ada beberapa solusi yang penulis tawarkan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu sebagai berikut: Pertama,  Pendekatan Berbasis Alam (Nature-Based Solutions). Salah satu solusi yang perlu diperkuat adalah pendekatan berbasis alam. Misalnya, dengan memperbanyak ruang hijau, membangun tanah resapan, dan mengembalikan fungsi lahan basah sebagai daerah penampungan air alami. Selain itu, bisa juga dengan memanfaatkan ruang publik sebagai area resapan air.

Kedua, Pengelolaan Air Tanah yang Lebih Baik. Pengurangan eksploitasi air tanah harus menjadu prioritas. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat dan industri memiliki akses ke sumber air permukaan yang layak dan lebih luas. Jika eksploitasi air tanah terus berlanjut, penurunan tanah akan semakin parah dan upaya penanganan banjir pun nantinya akan sia-sia.

Solusi lainnya yang paling jitu adalah Partisipasi Masyarakat dan Tata Kelola yang Baik. Selain dari proyek infrastruktur pemerintah, masyarakat pun juga harus berperan aktif dalam menjaga lingkungan untuk pencegahan banjir. Seperti tidak membuang sampah ke sungai, menerapkan konsep sumur resapan di rumah, serta mendukung kebijakan tata ruang uang berorientasu pada keberlanjutan.

Selain itu, transparansi dalam pengelolaan anggaran proyek banjir juga penting. Banyak proyek infrastruktur gagal berfungsi optimal karena adanya korupsi dan perencanaan yang kurang matang.

Mampukah Semarang Mengatasi Banjir?

Semarang memang temah berupaya mengatasi banjir melalui berbagai proyek infrastruktur. Namun, selama permasalahan utama seperti penurunan tanah, eksploitasi air tanah, dan berkurangmya daerah resapan belum diatasi, banjir tetap menjadi ancaman yang berulang. Infrastruktur bukanlah satu-satunya jawaban. Menggabungkan teknologi dengan pelestarian alam, adalah kunci untuk mengurangi resiko banjir secara berkelanjutan.

Jika Semarang ingin benar benar terbebas dari banjir, maka keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan harus menjadi prioritas utama. Infrastruktur memang bisa membantu, tetapi tanpa menghormati alam, sama saja kita hanya akan terus berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari kemampuan kita.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id Indonesian