(Oleh: Matt Al Amin Kraying, Mahasiswa Fakultas Bahasa Seni Dan Budaya, UNY)
Kota Yogyakarta selama ini dikenal dengan sebutan “Kota Pendidikan” dan “Kota Budaya” yang menjunjung tinggi kesatuan serta nilai – nilai luhur. Kota ini menjadi tujuan banyak orang untuk menuntut ilmu, bekerja, dan menikmati keindahan tradisi yang masih terjaga dengan baik. Kasus terkini kekerasan seksual terhadap beberapa mahasiswa yang melibatkan guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM), Edy Meiyanto, juga telah mencoreng citra tersebut. Fenomena ini terus terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan di ruang publik hingga pelecehan di ranah privat.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan ini masih marak terjadi di Kota Yogyakarta. Bedasarkan data dari (SIGA DP3AP2 DIY) tahun 2022, diperoleh 195 kasus kekerasan pada perempuan, kekerasan paling tinggi ditemukan dalam bentuk psikis, fisik, dan pelecehan seksual. Pada (SIGA Data Perlindungan DP3AP2 DIY) tahun 2023, terdapat 218 kasus kekerasan terhadap perempuan, dimana kekerasan paling tinggi ditemukan dalam fisik dan psikis. Sementara ditahun 2024 (SIGA Data Perlindungan DP3AP2 DIY) tahun 2024, terdapat 247 kasus kekerasan terhadap perempuan, pada tahun ini terdapat tiga bentuk kekerasan paling tinggi ditemukan dalam bentuk psikis, fisik, dan pelecehan.
Berdasarkan (SIGA DP3AP2 DIY) secara berurutan terjadi kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap orang tua, kekerasan dalam pacaran, kekerasan di tempat umum, kekerasan berbasis online, kekerasan di sekolah, dan kekerasan di tempat kerja. Rentan umur korban kekerasan terhadap perempuan yang paling sering terjadi pada usia 25-59 Tahun. Sememntara lokasi kekerasan terhadap perempuan paling sering terjadi di rumah pelaku, rumah korban, dan tempat umum.
Dalam data tahunan (SIGA DP3AP2 DIY) Sepanjang tahun 2022 – 2024 Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT. Di ataranya terdapat kekerasan terhadap istri yang menempati peringkat pertama sebanyak 660 kasus, disusul kekerasan terhadap anak perempuan 104 kasus, kekerasan dalam pacaran 41 kasus, sisanya diisi oleh kekerasan terhadap orang tua, kekerasan berbasis online, dan kekerasan di tempat kerja.
Kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terikat, mulai dari segi sosial, budaya, ekonomi, psikologis, hingga teknologi. Dari sisi sosial dan budaya, budaya patriarki dan ketimpangan gender menjadi salah satu faktor utama, di mana perempuan sering dipandang lebih rendah daripada laki-laki dan rentan menjadi korban kekerasan. Norma sosial yang mendukung kekerasan, seperti di rumah tangga atau tempat kerja, juga memperburuk situasi ini, ditambah dengan sitgma yang sering menyalahkan korban, sehingga mereka enggan melaporkan kekerasan yang di alami.
Faktor ekonomi, seperti ketergantungan finansial dan konsidi kemiskinan, hal ini turut memperburuk situasi, karena banyak perempuan merasa terjebak dalam hubungan abusif dan kesulitan untuk keluar. Selain itu, kemiskinan sering kali memicu kekerasan dalam rumah tangga karena tekanan hidup yang meningkat, serta menjadikan perenpuan rentan terhadap ekploitasi dan perdagangan manusia.
Faktor psikologis, seperti pengalaman masa lalu dalam lingkungan kekerasan atau gangguan kontrol emosi pelaku, juga memiliki peran penting dalam terjadinya kekerasan. Ketergantungan emosional atau manipulasi diri pelaku kerap membuat korban bertahan dalam hubungan yang merugikan mereka.
Selain faktor – faktor sosial, budaya, ekonomi, dan psikologis, pernikahan di usia dini dan perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu kekerasan kekerasan terhadap perempuan. Pernikahan di usia dini sering kali membuat perempuan lebih rentan mengalami kekerasan karena ketidakmatangan emosional dan mental dalam mengatasi konflik rumah tangga. Adanya perselingkuhan, baik secara emosional maupun seksual, sering kali memicu kekerasan, diamana pelaku mencoba menutupi ketidaksetiaan mereka dengan kekerasan terhadap pasangan. Perkembagan teknologi dan media juga turut memperburuk masalah ini.
Pelecehan digital dan cyber harassment semakin marak, membuat perempuan semakin rentan terhadap kekerasan digital, seperti penyebaran konten pribadi tanpa izin dan ancaman melalui media sosial. Media yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual memperkuat normalisasi pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, menjadikan kekerasan tersebut seolah-olah hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari.
Kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta merupakan masalah serius yang memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak, termasuk individu, masyarakat, pemerintah, dan lembaga internasional. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah melalui peningatan kesadaran dan pendidikan kepada masyarakat tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Edukasi ini bisa dilakukan melalui kampanya publik, seminar, dan program pendidikan di sekolah-sekolah. Selain itu, pelatihan untuk aparat penegak hukum juga sangat penting agar mereka dapat menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan empati dan profesionalisme. Penguatan hukum, seperti penegak hukum yang tegas dan pengembangan undang-undang perlindungan perempuan, juga diperlukan untuk memastikan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Pemerintah juga perlu menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah diakses oleh korban, seperti hotline 24 jam atau aplikasi digital.
Sementara itu, dukungan bagi korban kekerasan sangat penting untuk memulihkan kondisi fisik dan mental mereka. Pusat krisis dan rumah aman bagi korban kekerasan serta layanan psikologis dapat membantu perempuan yang menjadi korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan.
Bantuan hukum gratis juga perlu disediakan agar korban dapat memperjuangkan hak-haknya di pengadilan. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan akses pendidikan dan promosi kepemimpinan perempuan akan memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat. Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pelaporan kekerasan dan peningkatan keamanan digital, hal ini dapat mempercepat penanganan kasus dan melindungi perempuan dari kekerasan online.