Kepala Daerah Dipilih DPRD, Awal Kemunduran Bagi Demokrasi Indonesia?

(Oleh: Delfia Chynta, Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)

Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi secara langsung dipilih rakyat. Pilkada melalui wakil rakyat bukanlah suatu kebijakan baru. Sistem pemilihan ini diterapkan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Setelah digulingkannya rezim Soeharto, terjadi banyak perubahan pada sistem demokrasi di Indonesia. Termasuk sistem Pilkada lewat DPRD juga diubah menjadi pilkada langsung oleh rakyat, sejak 2005.

Sebelum digulirkan lagi oleh Prabowo pada 2024 ini, wacana untuk mengembalikan sistem Pilkada oleh DPRD pernah mengemuka 10 tahun lalu. Aturannya bahkan sudah terbit, walaupun kemudian dibatalkan lagi oleh presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada 2014, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melakukan merevisi Undang – Undang (UU) Pilkada, yang salah satu pokok pembahasannya adalah soal mekanisme pemilihan. Sebanyak enam fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yakni Golkar, PKS, PAN, PPP dan Gerindra menginginkan mekanisme Pilkada oleh DPRD. Diketahui, KMP adalah gabungan partai pendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa pada Pemilihan Presiden 2014.

Prabowo bicara perlunya perbaikan sistem pemilihan. Ia mengatakan sistem Pilkada saat ini terlalu mahal. Ia meminta semua partai politik harus berani mengakui itu. Prabowo mendorong adanya perbaikan sistem Pilkada. Ia lalu menyinggung Ketua DPR Puan Maharani yang hadir dalam acara tersebut. Ia mengajak semua pelaku politik untuk memikirkan banyaknya anggaran habis untuk pelaksanaan Pilkada.

Prabowo mencontohkan negara tetangga Malaysia, Singapura, India yang hanya memilih DPRD. Setelah itu, DPRD lah yang memilih gubernur. Prabowo mengatakan hal itu sangat efisien dan tidak mengeluarkan anggaran lagi. Ia lantas bertanya kepada para ketum partai yang hadir, apakah bisa diputuskan saat ini.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut wacana perbaikan sistem Pilkada dengan opsi gubernur dipilih DPRD perlu dipertimbangkan. Ia menyebut hal ini menyangkut efisiensi anggaran. Supratman mengatakan wacana itu kembali mendapat momentum usai gelaran Pilkada 2024. Banyak dampak negatif apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Pertama, dari sisi politik akan menghilangkan hak politik warga untuk memilih

pemimpin daerah secara langsung. “Dalam 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah baik yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat.

Kedua, akan ada faktor determinan dari partai politik untuk menentukan kepala daerah. Partai politik Indonesia sejauh ini sangat sentralistik, jadi keputusan DPP yang akan diikuti oleh anggota-anggota partainya di daerah. Hal ini menyebabkan proses pemilihan kepala akan menjadi sentralistik dan sangat menguntungkan bagi partai-partai besar saja.

Menurut analisa Penulis, faktor efesiensi anggaran seharusnya dapat dilakukan pada dana politik, misalnya seperti mengurangi pembiayaan perjalanan dinas untuk penyelenggara atau rapat rutin yang dilakukan dalam periode pilkada tersebut. Dana yang telah diefisiensikan tersebut diharapkan dapat diarahkan lebih banyak untuk pengawasan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di tempat masing-masing. Daripada mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah, hal ini dapat diatasi apabila pemerintah dapat memperbaiki efisiensi anggaran dan menindak tegas pelaku politik uang melalui lembaga-lembaga berwenang yang telah dibentuk.

Bila kita kembali telusuri UUD 1945, mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah dalam Pasal 18 ayat (4) menjelaskan setiap kepala daerah dipilih secara demokratis. Dimana dipilih secara demokratis tersebut melalui tahapan dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan kepala daerah tersebut harus secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil, sehingga terlaksananya hak-hak konstitusional warga negara Indonesia. Jika pemilihan kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD di terapkan ini akan menjadi awal dalam merusak kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi.

Sistem pilkada ke DPRD menimbulkan kekhawatiran akan kemunduran demokrasi di Indonesia. Sistem ini berpotensi mengurangi partisipasi masyarakat, meningkatkan praktik politik transaksional, dan menguntungkan partai-partai besar. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam untuk memastikan bahwa sistem pilkada yang diterapkan mampu mencerminkan prinsip demokrasi serta menjamin kepentingan rakyat secara luas.

Menurut Hemat penulis, menyarankan kepada pemeritah yang menjabat sekarang untuk lebih mengutamakan demokrasi langsung dalam pemilihan kepala daerah agar demokrasi di Indonesia tidak mengalami kemunduran, agar masyarakat juga tidak kehilangan perannya sebagai warga di negara kita ini.

Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD akan meningkatkan praktek korupsi dan menghambat regenerasi kepemimpinan nasional. Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD Melanggar Konstitusi, mengabaikan hak memilih dan dipilih rakyat, merupakan bentuk langkah mundur dari sistem demokrasi Indonesia dan akan semakin menurunkan partisipasi

masyarakat dalam pemerintahan serta menurunkan kepercayaan rakyat terhadap partai politik dan Pemerintah, hasil keputusan tersebut tidak menyuarakan kehendak rakyat namun justru mengkorupsi kehendak dan kedaulatan rakyat untuk kepentingan kelompok dan memperkuat oligarchy partai politik.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id Indonesian