loader image

Krismon udah didepan mata, emang iya?

(Oleh: Bagaskara Putra Utama, Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta)

Sejarah telah membuktikan bahwa krisis ekonomi tidak hanya berdampak pada angka-angka di pasar keuangan, tetapi juga mengguncang fondasi sosial dan politik suatu negara. Tahun 1998 menjadi saksi bagaimana ekonomi Indonesia terpuruk akibat krisis moneter (krismon) yang diperburuk oleh faktor eksternal, termasuk dugaan intervensi spekulan asing. Kini, kekhawatiran serupa kembali mencuat, dengan nama George Soros disebut-sebut sebagai aktor yang berpotensi mengulang sejarah kelam tersebut.

           George Soros adalah sosok kontroversial dalam dunia keuangan global. Ia dikenal sebagai spekulan ulung yang pernah mengguncang ekonomi Inggris melalui aksi short-selling terhadap Poundsterling pada tahun 1992. Kejadian ini menyebabkan devaluasi besar-besaran terhadap mata uang tersebut dan menciptakan kepanikan di pasar finansial. “George Soros menggunakan strategi agresif, termasuk short-selling, untuk mengguncang perekonomian,” ungkap Bennix, seorang investor saham terkenal.

Di Indonesia, nama Soros juga pernah dikaitkan dengan krisis ekonomi 1998. Banyak yang percaya bahwa aksi spekulatif terhadap rupiah turut memperparah situasi yang akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orde Baru. “Indonesia harus waspada terhadap intervensi ekonomi asing yang dapat mengarah pada ketidakstabilan seperti di masa lalu,” lanjutnya.

            Salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis moneter 1998 adalah jatuhnya mata uang baht Thailand pada Juli 1997. Krisis ini bermula ketika pemerintah Thailand tidak lagi mampu mempertahankan nilai tukar tetap baht terhadap dolar AS akibat tekanan besar di pasar keuangan. Keputusan Thailand untuk membiarkan baht mengambang bebas di pasar valuta asing menyebabkan depresiasi tajam mata uang tersebut, yang akhirnya menular ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. “Ketika baht terjun bebas, pasar mulai kehilangan kepercayaan pada mata uang Asia lainnya, termasuk rupiah,” ungkap seorang ekonom dalam wawancara.

            Dalam hitungan bulan, nilai rupiah mengalami kejatuhan drastis terhadap dolar AS. Jika pada pertengahan 1997 nilai tukar rupiah berada di sekitar Rp2.400 per dolar AS, maka pada awal 1998 rupiah telah anjlok ke kisaran Rp17.000 per dolar AS. Kejatuhan ini diperparah oleh aksi spekulan yang melakukan serangan terhadap rupiah dengan menjual besar-besaran aset berdenominasi rupiah dan menukarnya dengan mata uang asing.

Akibatnya, Bank Indonesia kesulitan mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, yang berimbas pada peningkatan tajam harga barang dan jasa di dalam negeri. Tidak hanya dalam dunia keuangan, Soros juga dikenal sebagai filantropis melalui Open Society Foundations, yang mendukung berbagai gerakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Namun, ada pihak yang mempertanyakan apakah filantropinya murni bertujuan untuk kebaikan atau justru menjadi alat untuk memperluas pengaruh politiknya di berbagai negara. Beberapa analis percaya bahwa donasi Soros kerap kali diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki agenda politik tertentu, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang campur tangan asing dalam urusan domestik negara-negara berkembang.

        Dunia keuangan global telah menjadi medan perang baru bagi berbagai kepentingan. Dengan taktik seperti short-selling dan manipulasi pasar, para pemain besar dapat memengaruhi stabilitas ekonomi suatu negara tanpa perlu melibatkan kekuatan militer. “Soros memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia,” ujar Bennix.

            Manipulasi ekonomi ini dapat menyebabkan efek domino yang merugikan masyarakat luas. Ketika nilai tukar mata uang jatuh, harga kebutuhan pokok meningkat drastis, daya beli masyarakat menurun, dan pengangguran melonjak. Di Indonesia, skenario seperti ini pernah terjadi pada tahun 1998, di mana krisis ekonomi berujung pada ketidakstabilan politik yang akhirnya menggulingkan pemerintahan saat itu.

            Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing juga dapat menjadi titik lemah yang mudah dieksploitasi. Jika investor besar tiba-tiba menarik dana mereka dari pasar Indonesia, hal ini bisa memicu kepanikan di sektor keuangan dan merusak stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk membangun sistem ekonomi yang lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada modal asing.

Selain kekuatan finansial, media juga menjadi alat utama dalam membentuk opini publik. Soros diketahui memiliki keterkaitan dengan berbagai organisasi media dan lembaga riset yang berperan dalam membentuk narasi tertentu. “Banyak media yang dikendalikan oleh kepentingan asing, termasuk Soros, yang dapat membentuk opini publik sesuai agenda mereka,” jelas Bennix.

            Dalam beberapa dekade terakhir, media telah menjadi alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik. Melalui berita, artikel, dan bahkan media sosial, narasi tertentu dapat dibuat untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap isu-isu tertentu. Misalnya, sebuah krisis ekonomi yang mungkin terjadi akibat faktor internal dapat dikemas sedemikian rupa agar tampak sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang salah, sehingga menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemimpin negara.

            Di era digital saat ini, penyebaran berita hoaks dan propaganda semakin masif. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran mereka terhadap kemungkinan adanya campur tangan asing dalam membentuk persepsi publik mengenai kondisi ekonomi dan politik nasional. Tanpa kewaspadaan ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali jatuh ke dalam skenario serupa dengan tahun 1998.

Ancaman intervensi ekonomi asing harus disikapi dengan serius. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah preventif untuk melindungi stabilitas ekonomi nasional, seperti memperkuat regulasi keuangan, meningkatkan ketahanan ekonomi domestik, serta memperkuat sistem pengawasan terhadap aktivitas spekulatif yang berpotensi merugikan negara. “Jika kita tidak bertindak, maka sejarah bisa terulang,” tegas Bennix.

            Langkah konkret yang dapat diambil oleh pemerintah meliputi peningkatan cadangan devisa untuk mengantisipasi gejolak ekonomi, diversifikasi sumber investasi agar tidak bergantung pada satu pihak, serta penguatan sektor riil yang dapat menopang perekonomian secara jangka panjang. Selain itu, penguatan sektor keuangan domestik melalui kebijakan moneter yang

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *