(Oleh: Hilda Elsa Sari, Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)
Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah merupakan proses demokrasi yang penting, namun tidak dapat dipungkiri bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pilkada sangatlah tinggi. Dari segi logistik, pengamanan, kampanye, hingga biaya administrasi, semua itu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Padahal, di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan dan anggaran daerah yang terbatas, alokasi dana untuk Pilkada yang tinggi ini sering kali menjadi beban berat bagi keuangan daerah. Dampaknya, tidak jarang dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat justru terkuras untuk kepentingan politik jangka pendek.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mungkin terdengar kontroversial bagi sebagian orang yang terbiasa dengan sistem pemilihan langsung. Namun, di tengah tantangan kompleksitas politik dan biaya pemilu yang semakin tinggi, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menjadi solusi yang lebih efisien dan efektif, serta lebih mengutamakan stabilitas daerah.
Salah satu kritik utama terhadap tingginya anggaran Pilkada adalah pemborosan sumber daya yang bisa lebih bermanfaat jika dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau program kesejahteraan masyarakat lainnya. Di banyak daerah, anggaran yang dialokasikan untuk Pilkada bisa mencapai ratusan miliar rupiah, yang jika dikelola dengan bijak, bisa membantu mengatasi masalah sosial, seperti kemiskinan, pendidikan berkualitas, atau infrastruktur yang masih terbengkalai. Ketika dana digunakan untuk tujuan politik, banyak sektor penting yang terabaikan.
Penyelenggaraan Pilkada yang memerlukan anggaran besar tidak hanya berhubungan dengan pengeluaran langsung, tetapi juga menambah beban birokrasi yang terlibat. Pengelolaan Pilkada yang rumit dan panjang memerlukan koordinasi antar berbagai pihak, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga aparat keamanan. Hal ini sering kali menambah beban administrasi dan mengurangi efisiensi dalam penggunaan anggaran publik.
Salah satu keuntungan besar dari Pilkada oleh DPRD adalah proses seleksi calon kepala daerah yang lebih mendalam. Anggota DPRD yang terpilih oleh rakyat di tingkat lokal memiliki pemahaman lebih mendalam mengenai karakter, rekam jejak, serta visi dan misi para calon. Mereka juga dapat menilai kecocokan calon dengan kebutuhan daerah dan potensi tantangan yang akan dihadapi kepala daerah tersebut. Ini tentu berbeda dengan Pilkada langsung, di mana rakyat lebih sering terjebak pada slogan atau popularitas calon yang belum tentu mencerminkan kapasitas kepemimpinan yang sebenarnya.
Di beberapa daerah, terutama yang rentan terhadap kerusuhan politik, Pilkada langsung dapat memicu ketegangan sosial. Perebutan suara yang sangat ketat sering kali berujung pada polarisasi masyarakat. Pilkada oleh DPRD dapat menjadi alternatif yang lebih stabil dan terkontrol, di mana pemilihan kepala daerah dilakukan dengan lebih bijaksana dan tanpa adanya tekanan massa. Selain itu, anggota DPRD yang lebih berpengalaman dapat memainkan peran sebagai penyeimbang yang lebih baik dalam menjaga kestabilan politik dan sosial.
Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, mereka biasanya lebih akuntabel kepada lembaga legislatif dan tidak terbebani oleh tekanan massa yang seringkali berfokus pada hal-hal jangka pendek. Pemimpin yang terpilih melalui DPRD cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan jangka panjang yang bermanfaat bagi pembangunan daerah. Dengan sistem ini, kepala daerah lebih fokus pada program pembangunan yang berdampak positif dan berkelanjutan.
Pilkada langsung sering kali rentan terhadap praktik politik uang dan manipulasi massa yang mengedepankan kedekatan personal atau materiil dibandingkan dengan kualitas calon pemimpin. Dengan pemilihan oleh DPRD, ada kemungkinan untuk mengurangi pengaruh uang dalam proses kampanye dan menjauhkan pemilihan dari dinamika yang mengarah pada manipulasi suara atau pembelian suara. Dalam hal ini, DPRD yang memiliki kepentingan dalam menjaga kredibilitasnya sebagai lembaga legislatif yang terhormat bisa berperan dalam menjaga integritas proses pemilihan.
Salah satu dampak dari kurangnya pemahaman ini adalah mudahnya masyarakat terjebak dalam praktik politik uang. Banyak calon yang mengandalkan uang untuk membeli suara pemilih, terutama di kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang rendah. Masyarakat yang tidak paham dengan dampak jangka panjang dari memilih hanya karena mendapatkan uang atau hadiah, akhirnya memberikan suara mereka untuk calon yang tidak berkomitmen pada perbaikan nyata. Politik uang ini merusak esensi dari demokrasi itu sendiri dan menggantikan keputusan yang seharusnya berbasis pada kebijakan dan integritas dengan keuntungan sesaat.
Meskipun pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah sistem yang sempurna, ia menawarkan solusi yang lebih efisien dan stabil dalam mengatasi beberapa masalah yang dihadapi oleh Pilkada langsung. Dengan mempertimbangkan biaya, kualitas calon pemimpin, dan potensi stabilitas politik, Pilkada oleh DPRD dapat menjadi alternatif yang sangat layak, terutama di daerah-daerah yang membutuhkan pengelolaan yang lebih matang dan berbasis pada kebijakan jangka panjang.
Tingginya anggaran Pilkada memang menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan. Meskipun Pilkada adalah bagian dari proses demokrasi yang penting, kita harus mempertimbangkan kembali apakah biaya yang sangat besar tersebut sebanding dengan hasil yang dicapai, terutama dalam konteks keuangan daerah yang terbatas. Sudah saatnya untuk mencari cara yang lebih efisien dan transparan dalam penyelenggaraan Pilkada, serta mempertimbangkan alternatif pemilihan yang lebih hemat biaya untuk memastikan bahwa anggaran publik digunakan seoptimal mungkin untuk kepentingan rakyat.