(Oleh : Sekarsari Astuti Royo, Mahasiswi prodi sastra indonesia, universitas negeri yogyakarta)
Pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menetapkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan nasional untuk memperkuat fondasi fiskal negara dan meningkatkan tax ratio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan sistem pajak yang lebih sehat dan berkelanjutan, yang mampu membiayai berbagai program pembangunan nasional. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan berbagai respons dari masyarakat, terutama terkait kekhawatiran terhadap kenaikan harga barang dan jasa, penurunan daya beli, serta dampaknya terhadap pelaku usaha kecil dan menengah.
Sebagai pajak atas konsumsi, PPN diterapkan hampir pada semua barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini berpotensi langsung memengaruhi harga-harga kebutuhan pokok. Masyarakat berpenghasilan rendah yang mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi akan paling terdampak. Dalam situasi ekonomi yang masih berupaya bangkit dari pandemi COVID-19 dan menghadapi fluktuasi harga pangan serta energi akibat situasi global, kebijakan ini bisa menambah tekanan ekonomi bagi rumah tangga kelas bawah dan menengah.
Pemerintah berargumen bahwa dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah. Maka dari itu, menaikkan PPN dianggap sebagai cara cepat dan efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, PPN dikenal sebagai pajak regresif karena membebani masyarakat berpenghasilan rendah lebih besar secara proporsional dibanding mereka yang berpenghasilan tinggi. Ketika semua kelompok masyarakat membayar pajak dalam tarif yang sama, tanpa mempertimbangkan daya beli, keadilan sosial dalam sistem perpajakan menjadi pertanyaan besar.
Dalam konteks ini, sangat penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan mitigasi dampak dari kebijakan tersebut. Misalnya, pemerintah dapat mempertahankan pengecualian PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, telur, dan sayuran, serta jasa pendidikan dan layanan kesehatan. Selain itu, program kompensasi dalam bentuk bantuan sosial tunai, subsidi energi, dan penguatan jaminan sosial harus ditingkatkan untuk menjaga kesejahteraan kelompok rentan. Langkah-langkah ini akan menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan, tetapi juga pada perlindungan masyarakat.
Dampak dari kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga pelaku usaha, terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kenaikan PPN akan meningkatkan harga jual produk mereka dan berisiko menurunkan daya saing. Dalam kondisi pasar yang sensitif terhadap harga, UMKM bisa mengalami penurunan permintaan, yang pada akhirnya berdampak pada kelangsungan usaha dan pengurangan tenaga kerja. Hal ini sangat disayangkan mengingat UMKM merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia dan berperan penting dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional.
Meski terdapat tantangan, kebijakan ini memiliki potensi manfaat jangka panjang jika diimplementasikan dengan tepat. Peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak akan memungkinkan pembiayaan yang lebih stabil untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program sosial. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Masyarakat harus dapat melihat dan merasakan bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup secara nyata.
Edukasi publik menjadi aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan ini. Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka alasan di balik kenaikan tarif PPN dan bagaimana hasil pajak akan digunakan. Pendekatan komunikasi dua arah, termasuk melibatkan media, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat, harus diutamakan agar masyarakat merasa menjadi bagian dari proses pembangunan. Ketika masyarakat memahami urgensi dan manfaat dari kebijakan ini, resistensi akan berkurang dan tingkat kepatuhan pajak dapat meningkat.
Tidak kalah penting adalah perlunya pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan. Penyusunan kebijakan fiskal seharusnya tidak dilakukan secara sepihak. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif, responsif, dan realistis terhadap kondisi ekonomi dan sosial di lapangan. Ini juga akan meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan.
Kenaikan PPN ini juga tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya solusi untuk memperbaiki penerimaan negara. Pemerintah perlu melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh, termasuk memperbaiki sistem pajak penghasilan dan memperkuat penegakan hukum terhadap penghindaran pajak. Penanganan terhadap praktik transfer pricing, penghindaran pajak oleh korporasi besar, serta optimalisasi pajak dari sektor digital menjadi sangat penting. Dengan demikian, beban fiskal tidak hanya ditanggung oleh konsumen melalui pajak konsumsi, tetapi juga oleh korporasi dan individu berpenghasilan tinggi sesuai prinsip keadilan.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat sistem administrasi perpajakan dengan memanfaatkan teknologi digital. Digitalisasi akan membantu meningkatkan efisiensi pemungutan pajak, mengurangi kebocoran, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dengan sistem yang lebih modern dan transparan, masyarakat akan lebih percaya pada lembaga pajak dan bersedia berkontribusi secara sukarela.
Pada akhirnya, kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah langkah besar yang harus diiringi dengan langkah-langkah strategis lain agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata. Jika tidak disertai dengan kebijakan kompensasi dan komunikasi yang baik, maka kebijakan ini justru dapat menimbulkan ketimpangan baru dalam masyarakat. Sebaliknya, dengan pendekatan yang adil dan bijak, kenaikan PPN dapat menjadi bagian penting dari reformasi perpajakan menuju sistem yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% memiliki dua sisi: potensi untuk memperkuat keuangan negara dan risiko terhadap kestabilan ekonomi rumah tangga. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Dengan mengedepankan prinsip keadilan sosial, keterbukaan, dan inklusivitas dalam proses pengambilan keputusan, kebijakan ini dapat berjalan lebih efektif dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan reformasi fiskal Indonesia terletak pada kemampuannya menciptakan keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat.