(Oleh: Tegar Rizki Dwipangga, mahasiswa prodi Sastra Indonesia UNY)
Tanggal 20 Mei 2025 menjadi saksi dari salah satu aksi unjuk rasa terbesar yang dilakukan oleh para pengemudi ojek online (ojol) di berbagai kota di Indonesia. Ribuan pengemudi turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan yang telah lama dipendam—tentang tarif yang tidak manusiawi, ketidakjelasan sistem, dan minimnya perlindungan terhadap mereka sebagai pekerja di era digital.
Aksi ini tidak terjadi dalam semalam. Sudah bertahun-tahun para pengemudi ojol merasa berada di posisi yang tidak menguntungkan. Mereka disebut sebagai “mitra” oleh perusahaan aplikasi, namun hak-hak mereka sebagai pekerja tidak diberikan sebagaimana mestinya. Tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, bahkan sistem kerja mereka pun diatur sepenuhnya oleh algoritma aplikasi. Ketika pendapatan mereka tiba-tiba menurun akibat “penyesuaian sistem”, mereka hanya bisa menerima tanpa tahu harus mengadu ke siapa.
Fenomena ini mengungkap ironi besar dalam perkembangan teknologi digital di Indonesia. Di satu sisi, kita bangga menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara. Namun di sisi lain, kesejahteraan para pekerja digital seperti pengemudi ojol justru tertinggal jauh. Mereka adalah roda penggerak utama dalam ekosistem ini, namun kesejahteraan mereka tidak pernah menjadi prioritas.
Tarif yang diberikan oleh perusahaan aplikator sering kali tidak sebanding dengan beban kerja yang harus mereka tanggung. Biaya operasional seperti bensin, perawatan kendaraan, hingga keperluan hidup sehari-hari sering kali tidak tertutupi. Apalagi jika insentif dipotong atau dihapus sepihak oleh perusahaan. Mereka harus bekerja dari pagi hingga larut malam hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar, tanpa ada jaminan bahwa besok sistem masih akan berpihak pada mereka.
Dalam hal ini, pemerintah juga tidak bisa tinggal diam. Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya, termasuk mereka yang bekerja di sektor informal digital. Sudah saatnya regulasi dibuat agar perusahaan digital tidak bisa semena-mena. Perlu ada aturan soal tarif minimum, status kerja yang jelas, serta jaminan sosial yang memadai untuk para pekerja platform.
Selain itu, perusahaan aplikator juga harus lebih terbuka dan adil terhadap para pengemudi. Mereka harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, diberikan ruang untuk menyuarakan pendapat, dan diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar angka dalam sistem. Jika perusahaan terus mengabaikan suara para pengemudi, maka konflik seperti demo besar-besaran ini bisa terus terulang.
Demo ojol 20 Mei bukan sekadar aksi protes. Ini adalah bentuk perlawanan dari mereka yang selama ini tidak didengar. Mereka bukan menolak teknologi, tetapi menuntut keadilan dalam sistem yang mereka jalani. Kemajuan teknologi seharusnya membawa kesejahteraan untuk semua, bukan hanya segelintir pihak. Kini saatnya kita semua—pemerintah, perusahaan, dan masyarakat—mendengar dan bertindak. Karena keadilan sosial di era digital adalah tanggung jawab bersama