Lulus Tak Diangkat: Tanggung Jawab Hukum Pemda atas Nasib 1.411 Guru P1 Swasta di Jawa Tengah

(Oleh: Thajri Nicopal, Mahasiswa Prodi Hukum UPN Bukittinggi)

Ketua PGRI Jawa Tengah sekaligus anggota DPD RI asal Jawa Tengah, Muhdi, angkat suara terkait nasib 1.411 guru prioritas satu (P1) dari sekolah swasta atau R1D di Jawa Tengah yang belum mendapat penempatan, meski telah lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sejak 2021 sampai dengan tanggal 17 Juli 2025 isu tersebut di beritakan.

Tak sedikit guru swasta yang justru dikeluarkan dari sekolah tempat mengajar setelah dinyatakan lulus P1, karena dianggap akan segera dipindahkan oleh pemerintah. kibatnya, banyak guru yang harus beralih profesi menjadi juru parkir hingga pedagang cilok demi bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah melakukan berbagai audiensi dan aksi unjuk rasa, mulai dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah. Kini, mereka berharap pemerintah daerah dapat segera memberikan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.

Awalnya pemerintah berencana merekrut 1 juta guru PPPK, namun formasi yang benar-benar dibuka oleh Pemerintah daerah saat itu tidak mencapai 500.000. padahal, jumlah peserta yang lulus seleksi melebihi jumlah formasi yang tersedia.

Fakta menunjukkan, per tahun 2025, terdapat 1.411 guru P1 swasta di Provinsi Jawa Tengah yang telah lulus seleksi tetapi belum diangkat karena pemerintah daerah tidak mengajukan formasi. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum, stagnasi karier, dan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan hak atas pekerjaan.

Pengangkatan guru melalui mekanisme PPPK merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi kekosongan formasi di sektor pendidikan dan memberikan kesempatan kerja kepada para pendidik yang telah memenuhi persyaratan seleksi. Beberapa dasar hukum yang menjadi acuan antara lain:

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Undang-Undang ini menekankan bahwa penyediaan pegawai negeri dilakukan secara selektif sesuai dengan kebutuhan organisasi pemerintahan. Pengangkatan PPPK merupakan bagian dari strategi untuk mengisi kekosongan jabatan yang ada.

Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK mengatur tata cara, kriteria, dan mekanisme penetapan formasi bagi calon pegawai melalui sistem PPPK, yang meliputi seleksi administrasi, kualifikasi, dan usul formasi yang harus diajukan oleh instansi yang berkaitan.

PermenPANRB No. 29 Tahun 2021 tentang Pengadaan PPPK Guru, Peraturan ini memberikan pedoman teknis bagi guru yang telah lulus seleksi untuk diangkat sebagai PPPK, termasuk ketentuan mengenai hak prioritas bagi kelompok P1 yang sudah dinyatakan lulus seleksi sebelumnya.

Dalam konteks hukum ini, keberadaan formasi sangat krusial. Setiap guru yang telah lulus seleksi PPPK memiliki hak untuk segera diangkat apabila terdapat alokasi formasi yang memadai. Namun, apabila formasi tidak diajukan atau tidak mencukupi, maka walaupun secara administratif telah dinyatakan lulus, hak tersebut tidak terwujud.

Berdasarkan kerangka hukum administrasi dan prinsip keadilan, guru P1 (Pelamar Prioritas 1) yang telah memenuhi seluruh persyaratan seleksi seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa dalam proses pengangkatan, tanpa dilakukan tes ulang atau penundaan yang tidak berdasar. Beberapa poin penting terkait posisi hukum guru P1 adalah:

  • Prinsip Kepastian Hukum: Guru P1 merupakan pihak yang sudah melewati seluruh tahapan seleksi, sehingga penundaan pengangkatan secara terus-menerus dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap asas kepastian hukum. Hak mereka untuk diangkat sudah seharusnya terpenuhi apabila formasi tersedia.
  • Prinsip Keadilan dan Non-Diskriminasi: Penundaan pengangkatan yang terjadi tanpa alasan yang jelas, terutama karena ketidakmampuan pemda dalam menyusun formasi, menimbulkan persoalan keadilan. Hal ini berimplikasi pada perlakuan tidak setara terhadap guru yang telah memenuhi syarat dibandingkan dengan pelamar baru atau formasi yang disusun secara mendadak.
  • Hak atas Pekerjaan: Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam konteks ini, guru P1 memiliki hak konstitusional yang harus dilindungi dan diwujudkan oleh negara, baik melalui kebijakan pusat maupun daerah.

Sebagaimana yang terdapat didalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah merupakan kewenangan pemerintah daerah. Maka, kewajiban menyusun formasi dan usulan pengangkatan guru merupakan bagian dari tanggung jawab strategis pemda untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ketidakmampuan atau ketidaktegasan pemda dalam mengusulkan formasi dapat dikategorikan sebagai maladministrasi. Kegagalan ini tidak hanya menghambat hak guru untuk mendapatkan pengangkatan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian secara sistemik, dimana kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas berdampak pada kualitas layanan pendidikan kepada masyarakat. Serta Pentingnya sinkronisasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kementerian yang terkait (misalnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian PANRB) harus ditekankan. Kegagalan koordinasi ini seringkali menjadi pemicu keterlambatan dalam penyusunan formasi yang berdampak langsung pada penundaan pengangkatan guru P1.

Permasalahan belum diangkatnya 1.411 guru P1 swasta di Jawa Tengah yang telah lulus seleksi PPPK merupakan cerminan nyata dari kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi administratif dan tanggung jawab hukum sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam konteks hukum administrasi negara, tindakan pasif pemerintah daerah yang tidak mengajukan formasi pengangkatan bagi para guru yang telah dinyatakan lulus seleksi nasional dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi, yakni suatu perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, termasuk kepastian hukum, keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas.

Lebih jauh, pengabaian ini juga mencerminkan lemahnya pelaksanaan prinsip good governance di tingkat daerah. Pemerintah daerah seharusnya menjunjung tinggi nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan responsibilitas dalam proses pengambilan kebijakan publik, terutama yang berdampak langsung pada nasib masyarakat. Dalam kasus ini, tidak adanya keterbukaan informasi mengenai alasan tidak diajukannya formasi, serta tidak adanya komunikasi atau klarifikasi resmi kepada para guru P1 yang terdampak, menunjukkan lemahnya komitmen pemda terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *