(Oleh: Alfira Alysa, Mahasiswi Sastra Indonesia, UNY)
Kota Persinggahan yang Mulai Bermimpi
Dulu, tak ada yang mengira bahwa kota kecil bernama Madiun ini akan punya mimpi besar. Madiun hanyalah sebuah titik di peta, tempat orang singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke kota besar seperti Surabaya atau Yogyakarta. Aku sendiri tumbuh dengan perasaan bahwa kota ini cukup untuk ditinggali, tapi terlalu sunyi untuk dirayakan. Ketika aku remaja, tak banyak yang bisa dibanggakan dari kota ini selain kulinernya yang khas seperti pecel, sambal tumpang, dan lontong tahu. Ruang publik terbatas, tempat bermain dan berkegiatan hampir selalu itu-itu saja. Madiun adalah rumah yang tenang, tetapi juga cenderung tak terlihat.
Namun segalanya mulai berubah sejak munculnya Pahlawan Street Center. Kawasan ini seolah menjadi simbol ambisi Madiun yang tak ingin lagi hanya menjadi kota bayangan. Replika Patung Liberty berdiri tegak, miniatur Menara Eiffel bersinar terang saat malam, dan di antara trotoar-trotoar lebar itu, anak-anak muda mulai berkumpul, berfoto, dan membuat konten. Madiun tiba-tiba menjadi ramai, hidup, dan seperti menemukan energi baru.
Antara Rasa Bangga dan Tanya yang Mengendap
Setiap kali melewati Pahlawan Street Center, aku tak bisa menolak rasa kagum. Di depan mata, Madiun tampil lebih terang, lebih bersih, lebih menarik. Tapi setelah itu, rasa kagum itu sering kali disusul oleh tanya yang mengendap dalam hati: “Apakah ini wajah kota yang benar-benar kita butuhkan?”
Aku bangga ketika teman dari luar kota menyangka foto itu diambil di luar negeri. Tapi aku juga khawatir apakah kita terlalu sibuk membangun wajah luar, dan lupa menengok isi dalamnya? Ketika kota hanya dibangun untuk tampil cantik, yang paling terdampak justru adalah mereka yang tak bisa ikut ‘berdandan’. Warga biasa, pedagang kecil, dan anak-anak pinggiran kota seringkali tak masuk dalam narasi besar pembangunan seperti ini. Mereka hadir di ruang fisik kota, tapi absen dalam perencanaannya. Membangun replika ikon dunia memang mencuri perhatian. Tapi apakah kita sedang membangun kota yang inklusif, atau hanya sedang mempercantik etalase agar tampak indah di media sosial?
Suara yang Terpinggirkan
Satu sore, aku duduk di bangku panjang dekat miniatur Big Ben. Di sebelahku, seorang ibu penjual minuman botol duduk sambil mengipasi dirinya. Kami berbincang ringan, lalu ia berkata, “Ramainya sih pas malam minggu aja, Mbak. Hari biasa ya gini-gini aja. Kadang kami malah disuruh pindah karena dianggap nggak cocok sama pemandangan.”
Kalimat itu membuatku termenung lama. Sejak kapan rakyat kecil dianggap “merusak estetika”? Bukankah mereka juga bagian dari denyut kota ini?
Cerita serupa datang dari beberapa pedagang lain. Ada yang harus pindah lapak lebih jauh, ada yang omzetnya justru turun karena kalah dengan kedai besar yang lebih instagramable. Kota yang dulunya terasa seperti rumah kini perlahan berubah menjadi galeri. Hanya yang enak dilihat yang dipertahankan.
Madiun boleh bersolek. Tapi kalau kecantikannya membuat sebagian warga merasa terusir dari ruangnya sendiri, apakah itu yang disebut kemajuan?
Kota yang Tumbuh Tapi Belum Merangkul Semua
Aku sadar, kota ini sedang bangkit. Pandemi pernah menghantam banyak sektor, dan pembangunan Pahlawan Street Center adalah salah satu upaya pemulihan ekonomi. Banyak UMKM mulai tumbuh, para konten kreator bermunculan, dan lapangan kerja terbuka di sektor pariwisata dan jasa.
Namun pertanyaannya tetap siapa yang benar-benar merasakan manfaatnya? Apakah pedagang keliling mendapat ruang yang sama dengan kafe modern yang dibangun dengan modal besar? Apakah suara ibu-ibu kampung ikut dipertimbangkan saat perencanaan dilakukan?
Sering kali yang kita sebut kemajuan hanyalah transformasi fisik, lampu lebih terang, jalan lebih rapi, bangunan lebih tinggi. Tapi di balik itu, ketimpangan sosial tetap menganga. Jika pembangunan tidak memihak yang kecil, maka kota hanya akan menjadi panggung pertunjukan. Dan seperti semua pertunjukan, setelah lampu dimatikan, hanya akan tersisa ruang kosong.
Mimpi yang Harus Ditegakkan di Atas Kemanusiaan
Aku percaya bahwa mimpi membangun kota itu penting. Aku tidak menolak perubahan. Tapi aku ingin perubahan itu berpijak pada kemanusiaan, bukan sekadar visualisasi.
Madiun bisa terus berkembang. Tapi jangan lupa menyisipkan ruang-ruang bagi warga biasa untuk ikut tumbuh. Mungkin yang kita butuhkan bukan hanya replika ikon dunia, tapi panggung seni rakyat, taman baca, ruang komunitas, dan lapak UMKM yang adil dan merata.
Kota yang adil bukan kota yang paling cantik dari luar, melainkan kota yang bisa membuat semua warganya merasa diterima, dilibatkan, dan dihargai.
Menutup Panggung, Menemukan Diri
Pahlawan Street Center memang mengubah wajah Madiun. Tapi pertanyaannya: apakah ia juga mengubah hati kita? Apakah ia membangkitkan empati, solidaritas, dan rasa kepemilikan terhadap kota ini? Jika kota dibangun seperti panggung, jangan lupakan siapa yang jadi penontonnya. Karena pada akhirnya, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang bisa memeluk, bukan hanya memikat.
Madiun kini bermimpi jadi ikon dunia. Aku mendukung mimpi itu. Tapi aku juga ingin, di balik kemegahan bangunan, kota ini tetap menyisakan ruang untuk mereka yang diam-diam menopang kota, pedagang kecil, seniman jalanan, anak-anak kampung yang punya harapan. Karena kota bukan hanya tentang siapa yang datang, tapi tentang siapa yang tetap tinggal, meskipun tak pernah masuk dalam foto.