Mendorong Kemandirian Fiskal Daerah Untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan

(Oleh: Hilda Elsa Sari, Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)

Otonomi daerah seharusnya memberi ruang bagi setiap wilayah untuk mandiri mengembangkan potensi lokal. Namun kenyataannya hasil otonomi di Sumbar belum optimal. Gubernur Mahyeldi bahkan mengakui bahwa 27 tahun pasca otonomi daerah “belum berjalan sesuai esensinya” dan dampaknya belum tampak nyata bagi banyak daerah di Sumatera Barat. Kajian akademik pun menunjukkan kemandirian fiskal Sumbar masih rendah akibat tingginya ketergantungan dana transfer pusat. Dengan ruang fiskal terbatas, pemerintah daerah Sumbar dihadapkan pada tantangan besar untuk bisa benar‑benar “berdiri di kaki sendiri”.

Secara fiskal, Sumatera Barat masih sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana bagi hasil lainnya dari APBN. Studi ekonomi daerah memperingatkan bahwa “ketergantungan tinggi pada DAU bisa menghambat kemandirian fiskal daerah jangka panjang”. Artinya, selama Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih kecil dan belanja daerah sangat bergantung subsidi pusat, daerah sulit mandiri. Data menunjukkan PAD Sumbar relatif kecil dibanding kebutuhan belanja, sehingga efisiensi anggaran dan perluasan basis pajak wajib diprioritaskan. Jika tidak, peningkatan belanja modal akan senantiasa dibiayai transfer pusat, bukan dari pembiayaan lokal yang lebih mandiri. Kebijakan fiskal ini juga terkait dengan koordinasi antar level pemerintahan. Regulasi dan kewenangan pusat maupun provinsi yang belum sinergis bisa menjadi hambatan tersendiri dalam mengelola anggaran daerah secara optimal.

Dari segi kebijakan, pengelolaan otonomi di Sumbar masih menghadapi kendala birokrasi dan kapasitas kelembagaan. Keterbatasan SDM aparatur dan tata kelola yang belum sepenuhnya transparan menyulitkan eksekusi pembangunan lokal. Sebagai contoh, proyek infrastruktur dan layanan publik sering kali terhambat oleh penyusunan anggaran yang belum mencukupi, sehingga sumbar kerap menggunakan kantong pusat untuk proyek-proyek strategis. Secara sosial dan ekonomi, beberapa kabupaten/kota di Sumbar masih menghadapi kesenjangan pembangunan. Daerah pesisir, gunung, dan kepulauan (Mentawai) memiliki tantangan akses yang lebih tinggi, menyebabkan disparitas.

Masyarakat Minang yang dikenal merantau memang membawa remitan ke kampung halaman, tetapi alih profesi pertanian ke kota juga meninggalkan kekurangan tenaga kerja terampil di pedesaan. Belum lagi faktor risiko bencana alam (banjir, longsor, dan gempa) yang sering melanda wilayah Sumbar dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Semua faktor ini memperjelas bahwa kemandirian daerah Sumbar masih terhambat oleh strukturnya sendiri: skema fiskal pusat‑daerah, kesiapan SDM, dan kesenjangan antarwilayah.

Di sisi lain, Sumatera Barat menyimpan potensi luar biasa yang jika dikelola baik bisa menjadi sumber kemandirian dan pembangunan yang berkelanjutan. Provinsi ini punya laut yang luas di pantai barat Sumatera, termasuk Kepulauan Mentawai, yang kaya akan ikan pelagis, kerapu, rumput laut, udang, kepiting, dan mutiara. Sumber daya kelautan ini tidak hanya untuk konsumsi lokal, tetapi juga bisa menjadi bahan baku industri (misalnya farmasi). Selain laut, Sumbar juga kaya dengan energi terbarukan.

Gelombang dan ombak Samudra Hindia di pesisir barat menyimpan energi kinetik besar yang dapat diubah menjadi listrik. Danau Singkarak dan Maninjau sudah dimanfaatkan sebagai PLTA besar, ditambah PLTA Koto Panjang di 50 Kota. Rata-rata penyinaran matahari Sumbar mencapai 7–10 jam per hari, artinya potensial untuk tenaga surya. Potensi sumber daya alam daratan juga melimpah: hutan tropis di Mentawai dan dataran tinggi menyimpan plasma nutfah serta panorama wisata alam, sementara lahan pertanian di tanah tinggi memiliki beras unggul (misalnya padi Kamang).

Sudah ada beberapa contoh menarik di Sumbar yang menunjukkan cara memberdayakan potensi lokal. Di Nagari Bayur (Danau Maninjau, Agam), gerakan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Masjid Raya memberdayakan perempuan melalui ekonomi kreatif ramah lingkungan. Program pemberdayaan ini membantu kelompok lokal memanfaatkan SDA setempat (ikan air tawar dan agrowisata) tanpa merusak lingkungan. Kelompok ini berhasil mengidentifikasi potensi di bidang perikanan, pasar tradisional, dan agrowisata, sehingga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat sambil melindungi danau.

Tidak hanya itu, inovasi adaptasi iklim berbasis komunitas di Sumbar sudah mendapat apresiasi nasional. Misalnya, Jorong Batu Kadurang (Nagari Andaleh, Tanah Datar) menanam bunga hias Anthurium di pekarangan rumah untuk ketahanan pangan sekaligus komoditas ekspor lokal. Bunga tersebut dipasarkan hingga ke luar provinsi (Riau), meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Sementara itu, Jorong Rejosari (Dharmasraya) melalui Kelompok Wanita Tani menerapkan pertanian organik dan memproduksi pupuk organik untuk pasar lokal hingga ke Provinsi Jambi. Kedua jorong ini meraih penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) KLHK karena berhasil mengintegrasikan mitigasi-penghidupan: pengolahan sampah organik maggot composting dan bercocok tanam rendah emisi menyatu dengan penguatan ekonomi lokal. Keberhasilan-keberhasilan ini menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan masyarakat sesuai kearifan lokal demi pembangunan inklusif dan lestari.

Di sisi lain, kegagalan kemandirian daerah justru sering muncul akibat keterbatasan tata kelola dan kesalahan arah kebijakan. Risiko korupsi atau inefisiensi anggaran, misalnya, bisa melumpuhkan potensi yang ada. Jika pemerintah daerah terus mengandalkan APBN tanpa inovasi pembiayaan, proyek infrastruktur strategis pun sulit berlanjut tanpa suntikan dana pusat. Persoalan politisasi atau fragmentasi politik lokal juga bisa menimbulkan pemborosan anggaran, seperti belanja pegawai yang membengkak dan mengurangi ruang fiskal untuk pembangunan produktif. Fakta bahwa “otonomi daerah belum sepenuhnya memberikan dampak positif” di Sumbar mengingatkan kita bahwa tanpa perbaikan manajemen, bahan baku potensi dan ide bisa terbuang percuma saja. Oleh karena itu, perhatian ekstra dibutuhkan agar keberhasilan lokal tidak terulang sebagai kegagalan berikutnya. Misalnya, memperbaiki kelembagaan nagari, transparansi APBD, dan pendampingan korporasi lokal.

Untuk memperkuat kemandirian fiskal dan otonomi daerah yang progresif, inklusif, dan berkelanjutan, diperlukan langkah strategis terpadu. Pertama, perlu diversifikasi sumber pendapatan daerah. Pemda harus menggali PAD baru melalui optimalisasi pajak lokal, retribusi, pengelolaan aset, dan penguatan BUMNag/BUMDa, sebagaimana disarankan para pengamat. Sumbar harus merancang insentif bagi investasi hijau (energi terbarukan, pariwisata ramah lingkungan) dan mendorong hilirisasi komoditas unggulan (kopi, kakao, limbah pertanian). Kedua, efektivitas belanja daerah harus dijaga lewat perencanaan berbasis kebutuhan nyata lapangan. Anggaran perlu berpihak pada daerah tertinggal dan program inklusif yang memberdayakan perempuan, kaum muda, dan kelompok rentan.

Ketiga, pemanfaatan teknologi informasi sangat penting: misalnya, digitalisasi keuangan daerah (penerapan QRIS pada retribusi) dan e-budgeting untuk mengurangi kebocoran anggaran. Terakhir, penguatan kapasitas pemerintahan nagari menjadi penting mulai dari pendidikan, politik dan manajemen keuangan bagi perangkat daerah hingga pemberdayaan partisipasi publik dalam perencanaan. Sehingga Sumatera Barat dapat bergerak menuju otonomi fiskal yang mandiri dan pembangunan berkelanjutan, di mana kekayaan lokal dikelola secara bijak demi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *