(Oleh: Mutasya Lifa Nabilla, Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)
Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) merupakan daerah destinasi wisata favorit saat musim libur panjang, baik itu lebaran, maupun libur sekolah. Beberapa daerah yang jadi tujuan diantaranya Kota Bukittinggi yang identik dengan ikon Jam Gadang-nya, menarik perhatian tidak hanya karena kekayaan budaya, Sejarah dan alamnya yang menakjubkan, tetapi juga karena tantangan yang dihadapinya. Terutama dalam pengelolaan sampah.
Bukittinggi termasuk kota penghasil sampah terbesar di Sumatera Barat. Tingginya jumlah kunjungan Masyarakat luar ke Kota Bukittinggi untuk berwisata, mngakibatkan volume sampah turut meningkat.
Sampah di Bukittinggi yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bersumber juga dari sampah rumah tangga dan industry lainnya, seperti perhotelan, rumah sakit, tempat hiburan, usaha kecil menengah dan kunjungan dari wisatawan luar yang datang ke Kota Bukittinggi. Pada hari biasa, sampah rumah tangga sekitar 52% dan sisanya 48% dari sampah industry dan lainnya.
Ketika kunjungan ke Kota ini meningkat, sampah industry dan lainnya lebih besar dibandingkan sampah rumah tangga.
Dengan konteks ini, artikel ini akan membahas tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait pengelolaan sampah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
Sampah adalah bahan buangan yang timbul dari proses produksi, baik dari pabrik maupun dari kehidupan sehari-hari di rumah. Dalam pengertian lain, sampah adalah sesuatu yang tidak diperlukan lagi setelah digunakan. Masyarakat seringkali menganggap sampah sebagai sesuatu yang kotor, berbau, mengandung bakteri penyebab penyakit, serta tampaknya tidak mendapat perhatian dari sebagian orang. Hal ini menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan sampah secara efektif. Selain itu, penduduk dan industri yang banyak menghasilkan sampah perlu diberdayakan, namun peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga sangat penting. Pelaku pemerintah perlu menyiapkan peraturan, teknologi, dana, serta memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pengelolaan sampah.
Pasal 28H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan menikmati lingkungan yang baik serta sehat. Lingkungan yang baik dan sehat hanya bisa tercapai jika pengelolaan sampah dilakukan dengan baik.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa pengelolaan sampah melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Tujuan dari pengelolaan sampah adalah meningkatkan kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan, dan memanfaatkan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan, termasuk pengurangan dan penanganan sampah. Perlu dikembangkan pendekatan baru, yakni memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi dan bisa dimanfaatkan, seperti sumber energi, bahan untuk kompos, maupun bahan baku industri.
Peran pemerintah sangat penting dalam semua tahapan pengelolaan sampah, yaitu pengangkutan, pengolahan, pembuangan akhir, serta pemanfaatan sampah. Faktor sosial dan politik juga memengaruhi pengelolaan sampah. Institusi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sampah, baik tingkat pusat maupun daerah, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Perusahaan Daerah Kebersihan, serta Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH). Keberhasilan penanganan sampah di perkotaan juga bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Pemerintah juga aktif dalam membawa masyarakat terlibat dalam pendanaan dan pengelolaan sampah.
Peran pemerintah dapat berupa peran langsung kepada masyarakat melalui dinas terkait, serta peran dalam penegakan hukum dan regulasi. Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir sampah merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan sistem tanggap darurat diatur dalam peraturan menteri.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 selanjutnya mengatur bahwa pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada tahun 2020, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik menyatakan bahwa: (1) Pemerintah Pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengelolaan sampah spesifik. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan sampah spesifik, pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa dalam rangka mewujudkan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perwujudan hak hidup sehat tersebut salah satunya adalah pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Dengan demikian, pemerintah memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas pengelolaan sampah yang terpadu dan komprehensif.
Tugas dan kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkait pengelolaan sampah memerlukan dasar pengaturan. Selain dasar pengaturan sebagai landasan pengelolaan sampah, dibutuhkan pula kerja sama lintas sektor baik dalam pengelolaan sampah maupun upaya lain dalam rangka mewujudkan lingkungan yang sehat dan nyaman bagi masyarakat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, pembiayaan tersebut berasal dari APBN dan APBD.
Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peran masyarakat antara lain pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perumusan kebijakan pengelolaan sampah, dan/atau pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.
Berdasarkan data dari System Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ini Kota Bukittinggi menghasilkan sebanyak 125,23 ton sampah per hari dari aktivitas masyarakat. Dengan jumlah penduduk sekitar 121. 588 jiwa, setiap orang secara rata-rata menghasilkan satu kilogram sampah per hari. Dari total tersebut, sebanyak 55,98% merupakan sampah organik yang terdiri dari sisa makanan dan tumbuhan, sedangkan 44,02% adalah sampah anorganik.
Kota Bukittinggi saat ini tidak memiliki Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) sendiri. Sampah yang dihasilkan akan dibawa ke TPAS Regional Sumbar yang terletak di Kelurahan Padang Karambia, Kecamatan Payakumbuh Selatan, Kota Payakumbuh. TPAS tersebut digunakan untuk menampung sampah dari empat kota/kabupaten di Sumatera Barat, yaitu Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Sumbar, Darmawi, mengatakan bahwa pengelolaan sampah harus menjadi prioritas utama oleh Pemerintah Kota Bukittinggi.
Masalah kebersihan menjadi salah satu keluhan wisatawan di kota yang menjadi ikon wisata Sumatera Barat tersebut, terutama di masa libur Panjang. Jika pengelolaan sampah di Kota Bukittinggi tidak diperhatikan, wisatawan akan merasa kecewa dan mengeluh. Hal ini dikhawatirkan akan membuat wisatawan enggan berkunjung kembali, yang tidak hanya berdampak pada sektor pariwisata Bukittinggi, tetapi juga pada daerah sekitarnya.
Dengan mengajak masyarakat untuk memilah sampah menjadi organik dan anorganik, serta menerapkan prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R), diharapkan masalah sampah di Kota Bukittinggi bisa semakin teratasi secara bertahap.
Kinerja Pemda Kota Bukittinggi dalam mengelola sampah masih menghadapi banyak tantangan. Produksi sampah yang terus meningkat menjadi masalah serius yang harus segera diperbaiki. Meski begitu, Pemda Kota Bukittinggi dan beberapa organisasi telah melakukan upaya untuk memperbaiki pengelolaan sampah, seperti program yang melibatkan warga serta pengembangan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik. Namun, masih banyak masalah yang belum teratasi, seperti kurangnya sarana pengelolaan sampah, belum adanya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilah sampah.
Oleh karena itu, Pemda Kota Bukittinggi perlu meningkatkan sarana pengelolaan sampah, membangun TPA sampah sendiri, serta meningkatkan kesadaran warga tentang cara mengelola sampah yang baik. Pemda Kota Bukittinggi harus meningkatkan pengelolaan sampah melalui program yang melibatkan masyarakat dan pihak terkait lainnya, serta meningkatkan transparansi dan kejujuran dalam pengelolaan sampah dan juga Pemda Kota Bukittinggi dapat meningkatkan kinerja dalam mengelola sampah dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih serta sehat bagi masyarakat.

