Menuju Daerah yang Mandiri Secara Fiskal: Desentralisasi Tidak Boleh Sekadar Simbolis

(Oleh: Afifah, Mahasiswi Prodi Hukum UPN Bukittinggi)

Pernyataan tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI pada 9 Juli 2025 patut menjadi perhatian serius bagi seluruh kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Pesan yang disampaikan bukan sekadar kritik, tetapi sebuah dorongan transformasi mendasar dalam pola pengelolaan keuangan daerah di Indonesia. Dalam sistem negara yang menganut desentralisasi, sangat ironis apabila sebagian besar daerah masih menggantungkan hidupnya pada dana transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan semacam ini tidak hanya melemahkan fungsi otonomi daerah, tetapi juga menghambat percepatan pembangunan yang responsif terhadap kebutuhan lokal.

Fakta menunjukkan bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah masih tergolong rendah, khususnya di kabupaten dan kota yang berada di luar wilayah perkotaan besar. Banyak daerah hanya mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) tanpa melakukan upaya signifikan untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah secara mandiri. Padahal, setiap daerah memiliki potensi ekonomi lokal yang dapat digali melalui sektor-sektor seperti pariwisata, pertanian, perikanan, industri kecil-menengah, dan jasa.

Kemandirian fiskal bukan berarti daerah harus mencetak uang sendiri, tetapi lebih pada bagaimana daerah mampu menggali potensi ekonominya, menarik investasi, memperkuat basis pajak lokal, serta membangun sistem pengelolaan keuangan yang efisien dan transparan. Tanpa adanya upaya ini, maka transfer dana dari pusat hanya akan menjadi semacam “infus” yang memperpanjang napas, bukan “nutrisi” yang memperkuat daya tahan.

Sri Mulyani juga menyampaikan pentingnya pembiayaan inovatif (creative financing) seperti kerja sama dengan pihak swasta, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), bahkan potensi pemanfaatan skema Dana Abadi atau pembiayaan berbasis aset. Gagasan ini sangat tepat di tengah keterbatasan fiskal nasional yang kini harus dibagi untuk berbagai kebutuhan, dari pembangunan infrastruktur nasional, pendidikan, hingga penanganan bencana dan krisis iklim. Namun, inovasi pembiayaan ini juga harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan tata kelola di daerah.

Sebab, tanpa pengawasan dan sistem akuntabilitas yang baik, skema creative financing justru bisa menjadi celah terjadinya penyalahgunaan wewenang atau proyek-proyek gagal yang membebani keuangan daerah. Pemerintah pusat perlu menyediakan regulasi yang jelas, ruang pendampingan teknis, serta sistem monitoring yang terintegrasi untuk memastikan pembiayaan inovatif tersebut tetap dalam koridor kepentingan publik.

Langkah reformasi skema Transfer ke Daerah (TKD) berbasis kinerja yang disebutkan Sri Mulyani merupakan upaya untuk memperkuat prinsip hasil (output & outcome) dalam pengelolaan anggaran. Artinya, daerah tidak bisa lagi mengandalkan formula otomatis dalam mendapatkan dana dari pusat, tetapi harus menunjukkan capaian nyata dari program dan kegiatan yang dibiayai. Pendekatan ini diyakini dapat mendorong pemerintahan daerah untuk lebih fokus pada program yang berdampak langsung bagi masyarakat, bukan hanya kegiatan seremonial atau proyek-proyek simbolik.

Namun demikian, skema ini harus diterapkan secara bertahap dan adil. Tidak semua daerah berada pada level yang sama dalam hal sumber daya manusia, infrastruktur, dan kapasitas fiskal. Oleh karena itu, perlu ada diferensiasi pendekatan dan dukungan afirmatif bagi daerah-daerah tertinggal.

Inti dari otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri demi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Namun keleluasaan ini mengandung konsekuensi: daerah harus bertanggung jawab atas pengelolaan fiskalnya. Pesan Sri Mulyani merupakan bentuk pengingat bahwa desentralisasi tidak boleh sekadar simbol administrative tetapi harus diikuti dengan semangat inovasi, efisiensi, dan tanggung jawab anggaran.

Kini saatnya para pemimpin daerah keluar dari zona nyaman dan membuktikan bahwa mereka mampu menjadi motor pembangunan di wilayahnya, bukan hanya operator anggaran dari pusat. Tanpa langkah nyata menuju kemandirian fiskal, otonomi daerah akan kehilangan maknanya, dan ketimpangan antarwilayah hanya akan terus melebar.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *