Negara di Persimpangan: “Saat Presiden Takut Bertindak, Rakyat yang Tersandung”

(Oleh: Sri Radjasa, M.BA, Pemerhati Intelijen)

Gelombang keresahan kini mengalir deras di tengah masyarakat. Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru diwarnai kegamangan dalam pengambilan keputusan strategis. Di saat bangsa membutuhkan kepemimpinan yang tegas, arah kebijakan negara tampak tersandera kompromi politik. Indonesia seakan berdiri di persimpangan, yakni antara keberanian untuk berubah atau terus berjalan di jalur kelumpuhan birokrasi dan ketakutan politik.

Padahal, tanda-tanda darurat sudah jelas di depan mata. Harga pangan melonjak, investasi mandek, hukum kehilangan wibawa, dan masyarakat kecil semakin terhimpit oleh beban hidup. Sementara itu, kekuasaan negara terlihat kehilangan sense of crisis, kepekaan terhadap ancaman yang tengah menggerogoti fondasi kehidupan berbangsa. Pemerintah seperti berjalan tanpa arah, sibuk menata keseimbangan politik sementara rakyat berjuang sendirian di tengah badai.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sejatinya memiliki legitimasi kuat untuk bertindak cepat. Namun langkah-langkah strategis yang diharapkan publik belum juga terlihat. Reformasi Polri yang digembar-gemborkan masih sebatas narasi. Penegakan hukum terhadap kroni penguasa belum menyentuh akar. Oligarki ekonomi dan mafia proyek masih leluasa bermain di sektor-sektor vital. Sementara, suara rakyat yang menuntut keadilan dan keberpihakan justru kian tenggelam di balik retorika stabilitas.

Kegamangan politik ini berbahaya. Sebab, dalam sejarah, kekuasaan yang takut mengambil keputusan justru mempercepat keruntuhan legitimasi. Stabilitas yang dijaga dengan kompromi berlebihan akan berubah menjadi stagnasi, dan stagnasi dalam politik berarti kemunduran bagi rakyat.

Prabowo kini dihadapkan pada pilihan tegas, tetap terperangkap dalam bayang-bayang kekuatan lama, atau melangkah berani menegakkan kepemimpinan yang otentik. Rakyat tidak membutuhkan presiden yang sibuk menjaga harmoni politik di Istana, tetapi seorang pemimpin yang berani menabrak kepentingan demi keselamatan bangsa.

Membiarkan ketimpangan hukum, memperpanjang kompromi dengan oligarki, dan menunda tindakan atas krisis sosial-ekonomi yang nyata hanyalah menunda ledakan ketidakpercayaan publik. Dalam demokrasi, legitimasi bukan diwariskan, melainkan diuji setiap hari oleh keberpihakan pada rakyat.

Bangsa ini membutuhkan presiden yang tak lagi ragu untuk bertindak di luar kebiasaan. Kebijakan normatif sudah tak cukup untuk meredam krisis yang terlanjur dalam. Dibutuhkan keputusan yang cepat, berani, dan berpihak. Sebab ketika pemimpin berhitung dengan kekuasaan, maka rakyatlah yang harus membayar tagihannya yakni dengan penderitaan.

Indonesia kini menunggu langkah bersejarah. Jika Prabowo memilih berpihak pada kepentingan rakyat, sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang mengubah arah bangsa. Namun jika terus gamang, rakyat akan terus tersandung di jalan terjal ketidakpastian, sementara istana sibuk menata kompromi politik yang tak berujung.

 

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *