Pemda Ikut Tanggung Pensiunan PNS: Langkah Realistis, Tapi Perlu Strategi yang Adil dan Berkeadilan

(Oleh: Safi’i Maizen, Mahasiswa Prodi Hukum UPN Bukittinggi)

Wacana Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melibatkan pemerintah daerah (Pemda) dalam pembiayaan pensiun pegawai negeri sipil (PNS) patut menjadi perbincangan nasional. Selama ini, sistem pensiun PNS baik pusat maupun daerah sepenuhnya menjadi beban pemerintah pusat. Namun, dalam kondisi fiskal yang semakin kompleks, terutama dengan beban kewajiban jangka panjang yang mencapai Rp976 triliun seperti dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), usulan ini menjadi masuk akal dan logis. Akan tetapi, langkah ini juga menyimpan sejumlah tantangan besar, mulai dari kesiapan fiskal daerah, keadilan antarwilayah, hingga perbaikan sistem jaminan pensiun yang lebih berkelanjutan.

Salah satu kejanggalan mendasar dalam sistem birokrasi kita saat ini adalah inkonsistensi antara otonomi daerah dengan sistem penggajian dan pensiun yang masih terpusat. Banyak PNS yang secara struktural dan operasional bekerja untuk Pemda, namun urusan tunjangan hari tua dan pensiun tetap ditanggung penuh oleh pusat. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam pembagian beban dan tanggung jawab. Dengan kata lain, Pemda hanya “menggunakan” tenaga PNS tanpa perlu memikirkan tanggung jawab jangka panjang atas kesejahteraan mereka setelah pensiun.

Dalam jangka pendek, ini memang menguntungkan Pemda, tetapi dalam jangka panjang menciptakan beban fiskal struktural yang terus menumpuk di pusat. Oleh karena itu, usulan agar Pemda ikut menanggung biaya pensiun adalah bentuk logika fiskal yang mengarah pada konsistensi sistem desentralisasi. Jika Pemda memiliki kewenangan mengelola SDM-nya, maka sudah sepatutnya ikut memikul beban kesejahteraannya.

Namun, usulan ini tidak bisa diterapkan secara seragam begitu saja. Realitas fiskal antar-daerah di Indonesia sangat timpang. Daerah-daerah dengan PAD tinggi seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung tentu memiliki kapasitas fiskal lebih baik dibandingkan daerah-daerah di wilayah timur Indonesia atau daerah tertinggal lainnya. Jika sistem ini dipaksakan tanpa adanya formula pembagian beban yang proporsional dan afirmatif, justru akan menambah ketimpangan. Daerah dengan fiskal lemah bisa saja terdorong untuk mengurangi jumlah PNS atau menghindari perekrutan baru karena takut akan beban pensiun di masa depan. Padahal, pelayanan publik tetap harus berjalan.

Pemerintah pusat harus memastikan bahwa transisi ini disertai dengan, dana transisi atau matching fund untuk daerah dengan PAD rendah, evaluasi ulang sistem rekrutmen PNS di daerah, dan yang paling penting, pembenahan sistem pensiun secara menyeluruh, termasuk kemungkinan mengubahnya dari sistem pay-as-you-go menjadi sistem fully funded seperti di negara-negara maju.

Wacana pelibatan Pemda dalam menanggung pensiun ini seharusnya tidak hanya menjadi upaya memindahkan beban dari pusat ke daerah. Ini harus dilihat sebagai momentum untuk reformasi menyeluruh sistem pensiun nasional. Saat ini, skema pensiun PNS bersifat non-kontributif dan sepenuhnya menjadi beban negara. Skema seperti ini tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dibandingkan dengan sektor swasta yang sudah lama menjalankan sistem pensiun berbasis iuran (contributory), sistem PNS masih tertinggal. Jika Pemda mulai dilibatkan, maka wacana pembentukan Dana Pensiun PNS Daerah atau sistem pensiun berbasis kontribusi bersama (pegawai dan pemberi kerja) layak dipertimbangkan. Ini tidak hanya akan menciptakan pembagian beban yang lebih adil, tetapi juga memberikan kepastian fiskal yang lebih terencana, baik di pusat maupun daerah.

Usulan Sri Mulyani mencerminkan kesadaran pemerintah terhadap besarnya beban fiskal jangka panjang negara. Pelibatan Pemda dalam urusan pensiun PNS memang merupakan langkah yang rasional dalam konteks konsistensi desentralisasi fiskal. Namun, kebijakan ini tidak boleh dijalankan secara sepihak atau terburu-buru.

Perlu ada kajian mendalam, simulasi fiskal antar daerah, hingga kesepakatan politik yang kuat antara pusat dan daerah. Jika dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, keadilan, dan reformasi menyeluruh, maka wacana ini dapat menjadi titik awal dari sistem pensiun yang lebih adil, profesional, dan berkelanjutan bagi negara maupun pegawainya.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *