(Oleh: Avivah, Mahasiswa Prodi Hukum UPN Bukittinggi)
Stasiun Lambung di Bukittinggi adalah salah satu properti penting yang memiliki arti sejarah yang mendalam serta potensi besar untuk memperkuat sektor transportasi dan pariwisata. Namun, saat ini, stasiun tersebut tidak beroperasi dan dalam keadaan yang kurang terawat. Dari berbagai sumber yang didapat, penutupan stasiun ini menimbulkan berbagai masalah, tidak hanya dalam hal layanan publik dan upaya menjaga warisan sejarah, tetapi juga berkaitan dengan aspek hukum administrasi serta pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bukittinggi.
Sayangnya, belum ada pemanfaatan atau pemeliharaan aktif terhadap stasiun ini, dan tidak tersedia dokumen publik yang menjelaskan status resmi penutupan atau rencana reaktivasi. Hal ini menunjukkan kelemahan koordinasi tata kelola antara PT KAI dan pemerintah daerah setempat dalam pengelolaan aset strategis
Tindakan penutupan ini memunculkan pertanyaan yang signifikan: apakah keputusan ini diambil berdasarkan aturan hukum yang berlaku? Apakah penutupan ini mempertimbangkan dampak terhadap hak masyarakat serta potensi ekonomi lokal? Apakah pemerintah daerah dianggap kurang berupaya dalam mengelola aset strategis yang dimiliki negara di area tersebut?
Dengan konteks ini, artikel ini akan membahas aspek hukum dari penutupan Stasiun Lambung dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap sumber pendapatan PAD, terutama dari sektor transportasi, pariwisata, dan pengelolaan aset publik.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber daya lokal yang sah, termasuk pajak daerah, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan sah lainnya. Dalam konteks Bukittinggi yang sangat bergantung pada sektor pariwisata, keberadaan infrastruktur transportasi seperti stasiun kereta sangat penting untuk meningkatkan arus wisatawan, yang secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan pajak hotel, restoran, dan hiburan.
Sementara itu, sejak dibukanya Proyek Stasiun Lambuang selama 3 tahun terakhir hanya menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekitar Rp 2,5 Juta. Berbeda hal yang disampaikan oleh Pj Sekretis Daerah Kota Bukittinggi, Al Amin, menyampaikan bahwa biaya sewa lahan kepada PT KAI mencapai Rp 2,3 Miliar per tahun. Hal ini membuat perputaran uang yang terjadi sangat kecil dan tidak sebanding dengan pengeluaran pemerintah, dimana Pembangunan infrastuktur Stasiun Lambuang menelan dana sekitar Rp 17 Miliar, dengan total anggaran termasuk sewa dan operasional mencapai Rp 24,5 Miliar.
Ditempat berbeda, menanggapi adanya dugaan kesan pengkotak-kotakan di DPRD Bukittinggi/dugaan polemik terhadap isu penutupan Stasiun Lambuang, tokoh muda dan praktisi hukum Bukittinggi, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, CLOP, yang dahulunya merupakan Ketua Tim Hukum/Advokasi Erman Safar – Heldo Aura serta Ketua Tim Hukum/Advokasi partai politik pendukung Erman Safar – Heldo Aura yang merupakan koalisi terbesar di Kota Bukittinggi dengan gabungan Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PSI, Perindo, PBB, Garuda, Hanura, Gelora, Masyumi, dan Partai Buruh ini memberikan tanggapan bahwa memang pasca Pilkada serentak terakhir, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan di banyak daerah, hubungan antara kepala daerah dan DPRD berjalan tidak harmonis. Dalam sejumlah kasus, relasi itu bahkan memburuk dan berubah menjadi perseteruan politik yang mengganggu jalannya pemerintahan. Akar masalahnya pun diduga beragam, misalnya dendam politik, efek mutasi dan pergeseran jabatan di jajaran pemerintahan daerah pasca pilkada, dan terkait penyusunan anggaran yang masing-masing ngotot ingin kepentingan politiknya terakomodir. Apalagi setelah adanya instruksi efesiensi anggaran, perjalanan dinas DPRD dipangkas 50 % sehingga banyak anggota DPRD yang hobbinya jalan-jalan merasa kewenangan mereka dibatasi, tanggapnya.
Berdasarkan Polemik diatas dapat dikaji bahwa Penutupan Stasiun Lambuang, bukan sekadar keputusan administratif, tetapi memiliki implikasi politik dan ekonomi yang strategis, apalagi mengingat stasiun tersebut merupakan bagian dari warisan sejarah dan potensi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketidakharmonisan antara wali kota dan DPRD diduga membuat kebijakan strategis seperti pelestarian atau reaktivasi stasiun menjadi terbengkalai. Dalam konteks ini, potensi PAD yang seharusnya bisa dikembangkan melalui sektor pariwisata, budaya, dan transportasi menjadi hilang karena konflik politik yang belum terselesaikan. Akibatnya, aset publik yang semestinya dikelola untuk kepentingan rakyat justru terabaikan.
Dengan tidak dimanfaatkannya Stasuin Lambuang, terdapat potensi kehialangan PAD dari berbagai sektor, seperti :
- Tidak adanya retribusi transportasi jika jalur dan stasiun diaktifkan kembali;
- Hilangnya potensi pemasukan dari pengelolaan stasiun sebagai objek wisata sejarah;
- Terhambatnya pertumbuhan UMKM di sekitar lokasi yang seharusnya hidup dengan adanya lalu lintas penumpang;
- Dampak tidak langsung pada pengurangan konsumsi wisatawan dan penginapan yang berdampak pada pajak daerah.
Data dari Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi menunjukkan bahwa pariwisata menyumbang lebih dari 30% total PAD Kota Bukittinggi pada tahun 2023, yang menunjukkan besarnya kerugian fiskal akibat tidak optimalnya pengelolaan aset pendukung pariwisata seperti stasiun ini.
Dalam hal ini, Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah wajib menyediakan dan mengelola pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata, efektif, dan berkelanjutan⁸. Penelantaran Stasiun Lambung berpotensi termasuk dalam kategori maladministrasi berupa pengabaian pelayanan dan kelalaian mengelola aset negara, sebagaimana dirumuskan oleh Ombudsman RI.
Penutupan serta pengabaian Stasiun Lambuang di Bukittinggi bukan hanya masalah teknis atau administratif, tetapi juga isu yang melibatkan banyak aspek dengan efek hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan. Dari sudut pandang hukum, ketidakmampuan dalam mengelola dan mengoperasikan kembali stasiun ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi dalam pelayanan publik, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang ini menekankan bahwa penyelenggara layanan publik, termasuk pemerintah daerah, memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang adil, efisien, dan berkelanjutan kepada masyarakat.
Pengabaian terhadap aset publik yang memiliki potensi seperti Stasiun Lambuang menunjukkan pelaksanaan prinsip pemerintahan yang baik tidak berjalan dengan baik dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, tindakan pasif terhadap aset publik merupakan bentuk pelanggaran kewajiban hukum (omission) oleh pejabat pemerintah yang dapat menyebabkan kerugian finansial bagi daerah, khususnya di sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terkait dengan pariwisata, transportasi, dan UMKM. Sementara itu, menurut Pasal 285 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki hak untuk mengelola urusan pemerintahan dan sumber daya lokalnya sendiri, termasuk memaksimalkan potensi PAD.
Berdasarkan data yang ada, nilai investasi untuk pembangunan stasiun dan biaya sewa kepada PT KAI sangat tinggi, tetapi hasil PAD yang didapatkan jauh di bawah harapan. Ketidakcocokan antara DPRD dan Wali Kota, yang dipicu oleh konflik politik setelah pemilihan kepala daerah, tampaknya menjadi faktor yang memperburuk situasi, sehingga rencana strategis seperti reaktivasi atau pelestarian stasiun terhambat. Proses penganggaran yang didominasi oleh tarik-menarik kepentingan malah menjadi hambatan bagi publik dalam memperoleh layanan yang baik dan akses ke warisan budaya.
Dengan demikian, dari sisi hukum administrasi negara, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab hukum untuk mengelola dan mengembangkan aset publik seperti Stasiun Lambuang agar hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik, peningkatan PAD, serta pelestarian warisan budaya dapat terpenuhi. Pemerintah daerah juga harus melakukan koordinasi dan kerja sama yang lebih baik dengan pemegang hak atas lahan, yakni PT KAI, untuk mencari solusi yang optimal dalam pemanfaatan aset tersebut.

