Republik yang Kehilangan Cermin

(Oleh: Sri Radjasa, Pemerhati Intelijen)

ndonesia hari ini berada di persimpangan nilai. Saat institusi yang seharusnya merupakan cermin keadilan dan moral publik justru memantulkan bayangan yang retak, maka bangsa ini hendak menatap dirinya sendiri dan menemukan bahwa rupa yang dibayangkan tidak cocok dengan kenyataan. Ketika kebenaran hanya diukur berdasarkan siapa yang mengucapkannya, dan bukan melalui proses yang adil, maka kita sedang menyaksikan fenomena di mana hukum bukan lagi menjadi panglima, tetapi menjadi budak kekuasaan.

Figur seperti Hoegeng Imam Santoso menjadi penanda bahwa pernah ada institusi yang berdiri di atas nilai yang sederhana, berani, dan menghargai keadilan sebagai tujuan akhir, bukan alat politik. Kajian tentang Hoegeng menegaskan bahwa kepemimpinan berbasis kejujuran bukanlah anomali semata, melainkan “etika profesi” yang utuh bahwa seorang penegak hukum tidak boleh tunduk pada patronase atau politik kekuasaan. Namun kenyataannya, Hoegeng diberhentikan bukan karena kekurangan kapabilitas, melainkan karena sistem merasa terancam oleh independensi. Ia dikudeta atas nama “peremajaan”, padahal yang berganti adalah figur, bukan nilai. Literatur kepolisian memperingatkan bahwa institusi yang kehilangan integritas akan lama-kelamaan kehilangan legitimasi publik.

Sementara itu, era terbaru memperlihatkan figur seperti Listyo Sigit Prabowo yang diangkat menjadi Kapolri pada 2021, naik ke puncak hierarki melalui dukungan politik yang signifikan. Dalam dinamika ini, loyalitas kepada kekuasaan politik tampak lebih bernilai daripada loyalitas terhadap hukum itu sendiri. Survei menunjukkan bahwa meskipun Polri meluncurkan program reformasi internal, persepsi publik masih mengukur: “Apakah setiap warga negara mempunyai akses yang sama di hadapan hukum?” Data tahun 2025 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Polri masih belum pulih sepenuhnya, dan banyak analis menyoroti bahwa penegakan hukum tetap rentan terhadap intervensi politik.

Negara Tanpa Cermin

Filosofi cermin menuntut kesetiaan terhadap apa yang sebenarnya yakni refleksi diri, integritas, dan akuntabilitas. Jika studi organisasi publik menyebut bahwa “integritas sistem lebih menentukan kepercayaan publik daripada perubahan struktural”, maka kita sedang menghadapi situasi di mana perubahan struktural dilakukan tanpa memulihkan etika dasar. Hasilnya: institusi tampak bergerak, jargon reformasi digaungkan, tetapi nilai kejujuran terus dikorbankan.

Kondisi ini menjadi parah ketika jabatan publik dianggap sebagai arena akumulasi materi dan kekuasaan, bukan sebagai amanah bagi rakyat. Korupsi dan patronase tumbuh menjadi budaya laten, di mana mereka yang menolak ikut ‘bermain’ justru dicurigai. Bangsa yang kaya sumber daya alam berisiko terjerumus ke dalam perangkap, bukan hanya eksploitasi tambahan, tetapi juga degradasi moral yang ditinggalkan sebagai limbah beracun bagi generasi mendatang. Ketika institusi hukum tidak lagi memantulkan rakyat, tetapi refleksi kekuasaan, maka rakyat kehilangan cermin yang jujur untuk menatap dirinya sendiri dan negara yang diharapkannya.

Republik ini sedang kehilangan cerminnya berupa institusi yang seharusnya menjadi kaca jujur kini hanya menjadi kaca retak yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, bukan kebenaran. Jika kita terus membiarkan integritas dikorbankan demi loyalitas yang kosong, maka bukan hanya sistem yang rusak, melainkan jiwa bangsa. Namun demikian, nama Hoegeng tetap hidup bukan sebagai figura masa lalu, melainkan sebagai panggilan masa depan: bahwa kejujuran harus kembali menjadi mata uang yang sah dalam ruang publik dan birokrasi negara. Sebesar apapun kekuasaan yang tampak tak tergoyahkan, loyalitas semata kepada penguasa tidak dapat menopang bangsa ini. Sebaliknya, integritas yang diperjuangkan, meski terpinggirkan dan kecil, akan tetap abadi dalam hati publik dan sejarah bangsa.

Jika kita ingin melihat pantulan diri kita yang sebenarnya, bukan bayangan yang dibelokkan oleh kekuasaan, maka saatnya kita meneguhkan sebuah institusi yang berani berkata “tidak” kepada patronase, dan “ya” kepada keadilan. Hanya dengan begitu cermin republik ini akan kembali memantulkan keadaban yang kita idamkan.

 

 

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *