Rupiah Terjun Bebas: Saatnya Kita Buka Mata Soal Ketahanan Ekonomi

(Oleh: Azzahra Audelia Rachmi, mahasiswa prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta)

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan kabar bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang turun cukup drastis sampai 1,84% dan bahkan nyaris menyentuh titik terendah dalam sejarah. Pada 8 April 2025, nilai tukar rupiah tembus sampai Rp16.860 per dolar AS. Angka ini sangat rendah bahkan sudah hampir menyamai kondisi nilai tukar pada saat krisis moneter 1998 yang menyentuh level Rp16.950/US$ dan krisis keuangan global 2008-2009 yang berada di level terendah yaitu Rp16.664/US$.

Apa yang membuat rupiah terjun bebas kali ini? Salah satunya adalah tekanan dari luar negeri, terutama kebijakan baru ekonomi Amerika Serikat yang membuat tarif produk Indonesia naik menjadi 32%. Tapi ini bukan sepenuhnya salah pihak luar, tetapi masalah dalam negeri juga banyak kontribusinya. Untuk meredam gejolak ini, Bank Indonesia langsung turun tangan lewat intervensi di pasar uang untuk menstabilkan rupiah. Tapi intervensi seperti ini hanya bisa membantu untuk sementara, tidak menyelesaikan masalah dari akarnya.

Yang perlu kita pahami adalah pelemahan rupiah ini bukan hanya soal angka, tapi ada banyak dampak yang harus diwaspadai. Hal ini juga adalah sinyal bahwa ekonomi kita belum benar-benar kuat untuk berdiri sendiri. Masalahnya, ekonomi kita masih terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah. Jadi, semisal harga komoditas turun atau negara lain mulai protektif, maka setiap gejolak globalnya pasti bisa bikin kita goyah. Seharusnya Indonesia mulai fokus membuat produk dengan nilai tambah tinggi, jadi tidak hanya kirim bahan mentah saja ke luar negeri.

Selain itu, Indonesia juga sedang mengalami defisit transaksi berjalan, yaitu kita lebih banyak belanja dari luar negeri daripada yang kita jual ke luar negeri. Hal ini membuat permintaan dolar naik dan otomatis rupiah makin tertekan.

Langkah darurat seperti intervensi pasar atau pengetatan aturan jual beli saham memang bisa membantu untuk jangka pendek. Tapi sekarang, sudah saatnya pemerintah tidak hanya fokus pada solusi jangka pendek, tapi sudah harus mulai memikirkan strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi. Seperti memperkuat industri lokal, tarik investasi yang produktif, mendorong industri manufaktur dan sektor jasa agar ekspor kita naik dan defisit bisa ditekan, dan yang paling penting yaitu kurangi ketergantungan kita pada utang luar negeri.

Turunnya nilai rupiah juga membuat harga barang impor menjadi lebih mahal, yang berujung bikin inflasi naik. Hal ini jelas mempengaruhi kehidupan sehari-hari, karena daya beli masyarakat menjadi turun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi juga bisa melambat. Jadi, pemerintah dan Bank Indonesia harus memikirkan strategi dan bekerja sama untuk hasil yang lebih maksimal.

Kondisi ini harus dijadikan pelajaran karena kita tidak bisa terus berharap jika ekonomi kita bakal terus aman kalau fondasinya saja masih lemah. Butuh reformasi yang lebih serius dan besar-besaran, dari sistem fiskal, kebijakan perdagangan, sampai penguatan sektor riil. Ekonomi harus dibenahi dari akarnya, bukan hanya ditambal permukaannya saja.

Pada intinya, momen ini membuat kita sadar kalau Indonesia masih punya banyak hal yang perlu dikerjakan. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bisa bekerja sama agar tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk berkembang di tengah dunia yang semakin tidak pasti ini.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id Indonesian