(Oleh: Yuri zulfianti, Mahasiswi Prodi Hukum, UPN Bukittinggi)
Desentralisasi merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca-reformasi. Gagasan utama dari desentralisasi adalah memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan domestik mereka sendiri, dengan harapan terciptanya pelayanan publik yang lebih efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Namun, dua dekade lebih setelah desentralisasi dijalankan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperkuat oleh UU Nomor 23 Tahun 2014, realitas pemerintahan daerah masih menunjukkan wajah ganda: antara semangat otonomi dan praktik tata kelola yang jauh dari ideal.
Pemerintahan daerah sering kali dianggap sebagai ujung tombak pembangunan nasional karena berhadapan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktiknya, semangat otonomi sering kali dibajak oleh kepentingan politik jangka pendek dan struktur birokrasi yang tidak profesional. Banyak kepala daerah yang terpilih melalui proses demokrasi elektoral, namun minim kapasitas dalam memimpin daerah secara strategis.
Pemilihan kepala daerah sering diwarnai oleh politik uang, pencitraan semu, dan dukungan elite lokal yang hanya mengejar keuntungan ekonomi dan politik dari anggaran daerah. Alhasil, banyak kebijakan dan program pembangunan yang dijalankan bukan untuk menjawab permasalahan krusial warga, tetapi untuk memenuhi kepentingan politik tertentu atau menjaga popularitas semata.
Persoalan lain yang krusial adalah lemahnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran. Meski secara administratif laporan keuangan daerah banyak yang mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hal ini tidak serta-merta mencerminkan pengelolaan yang bebas dari inefisiensi atau penyimpangan. Banyak anggaran habis untuk kegiatan seremonial, perjalanan dinas, atau proyek-proyek pembangunan yang tidak memiliki dampak langsung terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tidak jarang ditemukan kasus di mana proyek pembangunan yang sudah menghabiskan dana miliaran rupiah ternyata tidak bermanfaat atau bahkan mangkrak.
Selain itu, otonomi daerah justru melahirkan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Daerah dengan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang besar, seperti daerah-daerah penghasil tambang atau perkebunan besar, mengalami percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Sementara itu, daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya unggulan masih tertinggal, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti infrastruktur jalan, air bersih, atau layanan kesehatan. Ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) menjadi bukti bahwa banyak daerah belum mampu mandiri secara fiskal.
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu menggali potensi lokalnya secara kreatif dan inovatif. Banyak di antaranya lebih memilih jalan instan dengan mengandalkan bantuan pusat, daripada mengembangkan sumber pendapatan asli daerah (PAD) melalui reformasi ekonomi lokal, pariwisata, atau pengembangan UMKM. Padahal, potensi ekonomi lokal yang dikelola dengan baik dapat menjadi kekuatan besar dalam membangun daerah dari bawah.
Tak kalah penting, masalah birokrasi daerah masih menjadi batu sandungan besar dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Budaya birokrasi yang hirarkis dan kaku masih mendominasi sistem kerja pemerintah daerah. Banyak aparatur sipil negara (ASN) di daerah bekerja sekadar menggugurkan kewajiban administrasi tanpa inovasi dan semangat pelayanan publik. Reformasi birokrasi yang diharapkan mampu mengubah budaya kerja menjadi lebih dinamis dan profesional, justru berjalan sangat lambat di tingkat daerah. Akibatnya, pelayanan publik di bidang vital seperti kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan masih sering dikeluhkan oleh masyarakat karena lambat, tidak transparan, dan tidak ramah.
Minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan juga menjadi ironi dalam sistem pemerintahan daerah. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang seharusnya menjadi wadah aspirasi masyarakat, sering kali hanya menjadi formalitas tahunan tanpa tindak lanjut nyata. Banyak keputusan penting diambil oleh elite daerah tanpa keterlibatan publik secara berarti. Hal ini memperlemah semangat demokrasi lokal dan meningkatkan jarak antara pemerintah dengan warganya. Ketika suara masyarakat diabaikan, maka kebijakan yang dihasilkan pun kerap tidak sesuai dengan kebutuhan riil yang dihadapi masyarakat di lapangan.
Lebih jauh, praktik nepotisme, patronase, dan korupsi masih menjadi masalah laten dalam pemerintahan daerah. Pengangkatan pejabat daerah, pengadaan barang dan jasa, hingga penyaluran bantuan sosial masih sering dikaitkan dengan kedekatan personal atau afiliasi politik. Hal ini melemahkan profesionalisme birokrasi dan menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap pelayanan publik maupun peluang ekonomi.
Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka tujuan utama dari desentralisasi yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata hanya akan menjadi angan-angan. Pemerintahan daerah tidak akan lebih dari sekadar pengelola anggaran rutin tanpa visi pembangunan yang berkelanjutan. Kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan pun akan terus merosot, yang berisiko menghambat partisipasi warga dalam pembangunan dan memperkuat apatisme sosial.
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan menyentuh aspek mendasar dari tata kelola pemerintahan daerah. Pemerintah pusat bersama lembaga pengawas dan masyarakat sipil harus memperkuat sistem pengawasan, baik melalui regulasi yang tegas maupun partisipasi publik yang aktif. Penguatan kapasitas kepala daerah melalui pendidikan kepemimpinan publik, integrasi sistem informasi anggaran berbasis digital, serta percepatan reformasi birokrasi daerah harus menjadi agenda prioritas.
Lebih dari itu, pendidikan politik masyarakat juga harus diperkuat agar pemilihan kepala daerah tidak hanya menjadi ajang kontestasi popularitas semata, tetapi menjadi instrumen untuk memilih pemimpin yang visioner, integritas, dan memiliki kompetensi manajerial yang kuat. Dengan begitu, wajah pemerintahan daerah di masa depan tidak lagi bercabang dua, melainkan tegak lurus pada semangat melayani rakyat dan memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh warga negara, dari Sabang sampai Merauke.

